Jadi besok hari ibu, hari rabu berkata kepada subuh. Ibuibu tak mendengar apaapa selain suara tangisan anakanak sepanjang malam. Seterang apa bulan harus bersinar, biar wajah ibu terlihat dekat. Lebih dekat dari setumpuk surat yang ditulis tangantangan yatim piatu.
Kepada ibu, ada berapa ibu yang bernama ibu. Di bawah jembatan, anakanak telah membangun terlalu banyak ruas jalan, tak pernah menghubungkan rindu dengan dada ibu. Lalu siapa aku, kelelawar saja punya ibu, yang mengajari anakanak kelelawar tidur sambil membalik waktu. Burung merak punya ibu yang menunjukkan cara membuka ekornya demi pujian. Ibu cacing mengajari anakanaknya melupakan letak kepala dan kakinya. Apa yang ibu ajarkan padaku, melupakan namamu, aku sudah pintar, ibu mesti memberiku pujian.
Surausurat sangat keras kepala, memaksa kertas meminta kata, dari tinta, juga darah. Melipat malam dalam garis pudar, menyekat surga di telapak kaki ibu dan doa dalam genggam tanganku. Suarasuara itu selalu tembang, remang dan suram, menjadi ruang buram, tempat ingatan menanam rindu dendam. Tak akan merubah yang tercatat di lembarlembar surat, juga surat kabar di segala hari yang mencari.
Percuma merisaukan malam, besok tetap akan melewati subuh, menjadi hari rabu. Rabu untuk mengenang ibuibu yang sempat membaca surat anakanak. Dengan perangko bergambar foto di sudut kanan amplop, cap tanda tempat dan waktu, bisu. Sehening kantor pos jam dua belas malam.Suratsurat menangis di dada meja, tanpa basah, tanpa mata, kehilangan kata*
Kepada ibu, ada berapa ibu yang bernama ibu. Di bawah jembatan, anakanak telah membangun terlalu banyak ruas jalan, tak pernah menghubungkan rindu dengan dada ibu. Lalu siapa aku, kelelawar saja punya ibu, yang mengajari anakanak kelelawar tidur sambil membalik waktu. Burung merak punya ibu yang menunjukkan cara membuka ekornya demi pujian. Ibu cacing mengajari anakanaknya melupakan letak kepala dan kakinya. Apa yang ibu ajarkan padaku, melupakan namamu, aku sudah pintar, ibu mesti memberiku pujian.
Surausurat sangat keras kepala, memaksa kertas meminta kata, dari tinta, juga darah. Melipat malam dalam garis pudar, menyekat surga di telapak kaki ibu dan doa dalam genggam tanganku. Suarasuara itu selalu tembang, remang dan suram, menjadi ruang buram, tempat ingatan menanam rindu dendam. Tak akan merubah yang tercatat di lembarlembar surat, juga surat kabar di segala hari yang mencari.
Percuma merisaukan malam, besok tetap akan melewati subuh, menjadi hari rabu. Rabu untuk mengenang ibuibu yang sempat membaca surat anakanak. Dengan perangko bergambar foto di sudut kanan amplop, cap tanda tempat dan waktu, bisu. Sehening kantor pos jam dua belas malam.Suratsurat menangis di dada meja, tanpa basah, tanpa mata, kehilangan kata*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar