Minggu, 16 Januari 2011

lingkaran

Kulihat waktu di kota tua berbaju pemburu, menggotong senapan berbagai  jenis, angin, plastik, besi, baja. Beragam peluru tersedia, timah, batu, karet, air. Semua pilihan hina, setara telur busuk dalam saku bajuku. Aku berdiri sendiri, jauh dari yang lain, harus kujaga jarak dengan tubuh dan tembok yang berkeliaran di jalanjalan, atau telur busuk dalam saku bajuku akan tehimpit, pecah menodai  baju, memenuhi tempat dengan bau kematian paling laknat.

Kau tenangtenang menggambar, duduk dekat airmancur, seolah paham betul cara bersyukur. Kau tentu tak punya penggaris cukup panjang, tak mampu mengukur berapa jarak sudah kutempuh hanya untuk tiba pada kota tua. Kota tua, semua dindingnya berlubang, tiang dan tulang sama retak, menyangga bangunan dan punggung manusia. Lalat terbang berdengung keluar masuk dari rumah ke rumah lewat lubang dinding, bersama angin, bersama pening. Kau pasti punya sesuatu yang bisa membuatmu tahan tak menghujat tuhan.

Tuhan ternyata mendengarku, mungkin marah. Tibatiba tuhan melemparkan kertas, tak terhitung lembar. melayanglayang sebelum berserakan di tanah, sebagian mendarat di atas rumput dan batubatu, sebagian tersangkut di dahandahan pohon. Anakanak telanjang kaki berlarilari menangkap kertas, memunguti yang terbaring di tanah, batu dan rumput. Kau bangkit dan tersenyum, mengulurkan tangan meraih kertaskertas yang jatuh dalam jangkauan lenganmu. Waktu berbaju pemburu meletakkan senapannya masingmasing, turut pula menangkap dan memunguti kertaskertas putih.

Aku nyaris tak percaya pada mataku, kenapa kertaskertas bisa begitu banyak berjatuhan, mungkinkah langit menuliskan pesan pada kertas, menjatuhkannya serupa hujan, agar seisi dunia membaca. Tapi, saat kulihat lebih cermat hanya kertas kosong, putih, tak ada kata, pun tak satupun abjad atau angka tertera di atas kertas. Lalu untuk apa kertas sebanyak itu diturunkan siasia. Aku merasa bersalah dan kasihan kepada tuhan.

Kau sudah duduk kembali, dekat air mancur, kini dengan setumpuk kertas dipangkuanmu, kau bisa menggambar sepanjang waktu tanpa takut kehabisan kertas. Kertas sekarang sangat berharga, berkah, terutama di kota tua, kebanyakan kertas tak putih lagi, penuh coretan abjad dan angka tak bermakna, masih pula tercetak gambar seseorang yang pernah menang dan harus dikenang, kertaskertas dipotong pesegi, kecilkecil, untuk ditukar dengan beras dan air. Anakanak tak pernah bisa puas menggambar dan main origami, menerbitkan matahari, menciptakan burungburung dan pesawat terbang dari kertas.

Semua anak manusia, bersama waktu, terlihat bahagia dengan kertas dalam genggam tangannya. Waktu berbaju pemburu dudukduduk di bawah rindang pohon, sibuk dengan kertasnya masingmasing, tak ada yang cuma punya selembar kertas, semua mendapat berlembarlembar kertas cumacuma, sebanyak yang dibutuhkan, sepuas yang diinginkan. Anakanak mulai tertawatawa melipat burung dan pesawat terbang. Aku merasa ada yang bergerakgerak dalam saku bajuku. Beberapa ekor anak burung melongokkan kepala dari pecahan kulit telur, sesaat kemudian,  beberapa anak burung melepaskan diri, meninggalkan saku bajuku, terbang di  udara bersama burungburung dan pesawat terbang kertas.

Aku tak tahu bagaimana burungburung kecil bisa tumbuh secepat itu, tak ada induk burung dalam saku bajuku, yang memberi  makan dan mengajari anakanak burung terbang. Aku mulai menulis sesuatu, belum terbaca. Aku harus mendongak lagi, melihat banyak hal tumbuh dari kertaskertasmu, gunung dan matahari, awan dan pelangi, aku menuliskannya lagi, tak bisa lebih, kau menggambarkan kembali semua yang telah meninggalkan kertas putih. Waktu berbaju pemburu telah berganti baju, baju yang tumbuh dari kertas, entah siapa yang menggambar, mungkin kau atau aku, atau anakanak itu. Sekarang waktu mirip guru taman kanakkanakku, celana panjang, kaos lengan panjang berwarna merah muda, lengkap dengan topi bulat juru masak, warnanya juga merah muda.

Marilah kita berdoa, waktu berbaju guru taman kanakkanak melihatku dan berkata, melipat tangan, memejamkan mata. Kebetulan ada yang ingin kutanyakan pada tuhan, meski sangat kuragukan tuhan mau menjawab, tetap ingin kutanyakan.

Aku sudah bebas bergerak, tak lagi waswas terhimpit orang atau tembok, tak ada lagi telur busuk yang kuresahkan akan pecah sewaktuwaktu dalam saku baju. Waktu berbaju guru taman kanakkanak menggandeng tanganku, menuntunku berjalan, menginjak senapan yang sangat banyak tergeletak di jalanan. Tubuhnya membimbing pundakku, melangkah ke suatu tempat yang terasa akrab. Dari kejauhan kulihat seorang anak, mungkin perempuan, sedang duduk dekat api, mengulurkan lembar demi lembar kertas putih penuh tulisan. Udara beraroma hangat, bau rempahrempah membuat mataku pedih. Waktu berbaju guru taman kanakkanak menggenggam erat tanganku. Beberapa ekor burung kertas lipatan anakanak terbang berputar, menukik lincah dikejar burungburung sungguhan yang menetas dari dalam saku bajuku, berkejaran sambil berkicau riang.

Anak kecil masih ada di sana, duduk tenang, mengulurkan kertas lembar demi lembar kepada api. Di balik punggungku kertaskertas putih masih terus berjatuhan dari langit. Kau tekun menggambar di dekat airmancur, beberapa bunga teratai tumbuh dan mekar. Waktu berbaju guru taman kanakkanak berbisik, tentang hujan kertas, tanyakan saja pada anak kecil yang membakar kertas.

Aku berjalan mendekati anak kecil, ternyata memang anak perempuan, bayangan api menarikan warnawarna pada wajahnya. Masih tersisa setumpuk kertas untuk diserahkan kepada api, seperti tak pernah habis, aku tak ingat siang atau malam. Waktu berbaju guru taman kanakkanak tersenyum dan mengangguk dari jauh. Alihalih membuka mulut untuk bertanya, aku terjaga, mataku terbuka lebar, kutegakkan kepala dari selembar kertas di atas meja, putih dan kosong, sedikit lusuh, berkerut di sanasini, mungkin lelah menopang kepalaku tidur semalaman. Aku tak tahu pasti, kertas atau aku yang mengeluh, betapa sulitnya menulis catatan buat tuhan*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar