Malam telah larut, hampir fajar. Seorang lelaki mabuk berjalan terhuyunghuyung di tepi sebuah jalan. Dari mulutnya tercium bau harum anggur, sementara dia tak henti menggumamkan penggalan namanama dan serapah. Langkahnya buruk sekali, tersandung berulang kali. Tapi, lelaki itu berjalan ke arah yang sama, tanpa ragu, dan dia tak terjatuh.
Seorang perempuan baru saja kembali ke sudut jalan, di mana dia biasa berdiri lagi, sesudah menyelesaikan mimpi. Perempuan itu merasa udara malam ini terlalu dingin, menusuk tulang iganya, membuatnya merasa mual. Betapa beruntungnya lelaki mabuk itu, bebas meracau sambil berjalan terseokseok, setidaknya mabuk menghangatkan tubuh. Perempuan itu juga sedang kehabisan sigaret, malam yang kacau, segelap langit.
Lelaki mabuk terus saja menggumamkan makian dengan suara parau. Andai aku bertemu dengan seorang perempuan yang tak muak melihatku saat ini, aku akan percaya bahwa hidup memang adil, selalu saja kalimat serupa itu yang memenuhi benaknya saat dia mulai menenggak anggur tak putusputus. Lelaki mabuk sengaja minum cukup banyak untuk bisa menyebutkan semua namanama dalam ingatannya, namun selalu saja nama itu tak bisa tersebut, suburuk apapun kalimatkalimatnya, sebanyak apaun namanama bisa disebutnya, selalu masih tertinggal satu, mungkin terkubur terlalu dalam di jiwanya.
Perempuan mengamati lelaki mabuk dengan matanya yang jeli, mata yang biasa dipakainya untuk menilai lelaki. Dia berkata dalam hati, dia lelaki yang baik dan menyenangkan, meski dalam keadaan mabuk berat, dia berjalan pulang sendirian, tak merepotkan siapasiapa, lagipula lelaki itu tak memuntahkan isi perutnya, sesekali lelaki itu seperti tersengal. tapi tak ada muntahan keluar dari mulutnya, tak juga dia ambruk dan terpuruk di trotoar. Sebaikbaiknya seorang pemabuk, adalah pemabuk yang bisa mengurus dirinya sendiri, tak perlu menyusahkan sesiapa untuk menopang tubuhnya.
Perempuan merasa sangat iba, menimbangnimbang kemungkinan menghabiskan sisa malam dengan lelaki tak dikenal yang berjalan sempoyongan, itu ide yang sangat ganjil, sepertinya sangat putus asa. Kenapa tidak, kalau ada saat yang tepat untuk merasa putus asa, inilah saatnya, waktu yang tepat, orang yang tepat, dan kabut yang turun menjelang dini hari akan jadi setting yang sempurna untuk sebuah drama. Tanpa benarbenar sadar, perempuan melangkah mendekati lelaki.
“Hey, mau kuantar pulang ?”
Lelaki itu memandangnya seolaholah perempuan itu bukan mahluk bumi, ya alien, begitu namanya. Alien, begitu anakanak dan orang dewasa menyebut mahluk yang berasal dari luar bumi, seandainya memang ada tempat lain untuk hidup selain bumi. Perempuan itu merasa risih dipandang dengan begitu tajam, tapi tak menyerah, kalau seorang lelaki mabuk tak langsung menerkam dan merengkuh tubuhnya, itu satu lagi pertanda bagus. Perempuan mengira lelaki mabuk tak mendengar kalimatnya, mengulangi sapanya, “Hey, boleh kuantar pulang ?”
Lelaki mabuk melontarkan beberapa makian, sebelum akhirnya berkata, “Kau tahu rumahku ?”
“Tidak.”
“Jadi bagaimana mau mengantar kalau tak tahu.”
“Kau akan memberitahu, atau menunjukkan jalannya.”
“Aku mabuk.”
“Aku tahu.”
“Aku mungkin tak tahu rumahku.”
“Kau tak cukup mabuk untuk berkata jujur.”
“Hahh…?”
“Kau tak cukup mabuk untuk membiarkan aku mengantarmu pulang.” Perempuan mengambil nafas sebentar, kemudian,“Kau tak cukup mabuk untuk membiarkan perempuan macam aku mengunjungi rumahmu. Kau tak cukup mabuk untuk mengataiku pelacur. Kau…” Perempuan itu menyerang dengan katakatanya.
“Aarrghhh…sssttt…!!” Lelaki mabuk memegang bahu perempuan ,“Ayolah, ikut aku.”
“Peluk aku.” Suara perempuan mendesis, macam bujukan iblis, tak bisa ditampik.
Lelaki mabuk memandang perempuan sejenak lagi , seakan ingin memastikan sesuatu, sebelum membuka lengannya. Perempuan merapatkan tubuhnya, meletakkan pinggangnya begitu pas pada lengan lelaki mabuk. Mereka berjalan berhimpitan. Lelaki mabuk kini diam, tak meracau, tak memaki atau menyebut namanama lagi. Sungguh diam dan sunyi, tak ada suara selain bunyi langkah bergesekan jalanan dini hari.
Lelaki dan perempuan itu berpelukan, berjalan pulang di sebuah malam.
Rumah itu sejuk, berdinding embun bercampur peluh dan airmata, jernih dan gurih tak terkira. Fajar hampir datang, tanpa bisa ditunda, mengangkat rumah embun dan jiwajiwa yang tertidur gelisah dengan tanya yang tak pernah habis. Lelaki mabuk dan perempuan tak peduli, sungguhsungguh tak peduli, bahkan jika langit runtuh menimpa kepala.
Bagi lelaki mabuk dan perempuan, kepala remuk itu biarkan saja terkubur, toh sepanjang waktu kepala cuma bisa menyuruhnyuruh tubuh, ini itu yang tak ada arti. Berpikir, hanya itu guna kepala, kegiatan paling meresahkan ya berpikir, berpikir membuat lelaki ingin menenggak anggur terusmenerus, dan perempuanperempuan berdiri di sudut jalan sepanjang malam, melelahkan.
Pemabuk dan pelacur itu, mungkin sepasang malaikat yang sedang menyamar, mereka diutus tuhan demi syairsyair cinta paling getir. Syairsyair yang bikin tuantuan dan nyonyanyonya terhormat tersindir, memonyongkan bibir, mencibir, dan berbisik sinis,”Kami tak butuh syair, makan tuh syair!” Tuhan juga suka tertawa mendengarnya, tuhan maha segalanya, pasti juga maha romantis, maha tragis, seharusnya tak lagi menangis setiap membaca bencana.
Fajar datang, selubung kabut menghilang, tepat seperti yang dibayangkan perempuan, lelaki mabuk melayang terbang, tanpa sayap, masih memeluk pinggangnya. Perempuan tertawatawa, sangat bahagia, perempuan paling beruntung di jagad raya adalah perempuan yang boleh mengantarkan seorang malaikat pulang. Ahh, ada gunanya juga punya kepala, ternyata bisa berpikir indah, tertawa dan merasa bahagia.
“Kirimi aku bintang nanti malam.” Katakata itu tepahat di tanah, dibawahnya anak kucing bahagia bermain cacing*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar