Minggu, 16 Januari 2011

alur

Jika dinding jatuh cinta pada lantai, bolehkah merobohkan diri. Dahandahan pohon tentu ingin melihat keindahan di bawah atap.

Seandainya punya lengan akan dipetikkan sebuah kuncup bunga apa saja dari halaman, untuk dinding berikan kepada lantai. Seandainya mampu mengayunkan linggis, lantai pasti mengiris dadanya sendiri, biar dinding melihat loronglorong dalam tubuhnya. Gelap panjang menuju magma, menggelegak, bergetar kencang di perut bumi.

Hanya udara pengisi hampa, tak nampak, jarak berteriak, gema suaranya memantul di sudutsudut. Terdengar bagai deru kereta api raksasa di telinga serangga. Rayap kian beringas melahap tiangtiang kayu penyangga jendela dan daun pintu. Berharap suatu ketika meruntuhkan sekeping dinding untuk lantai yang setia bedoa.

Langkah kaki tak pernah mengerti kisah di balik dinding, tak pernah mendengar rintihan rindu yang terinjak selalu. Tak ada yang tahu siapa yang mengajari rayap melakukan pekerjaan mulia.

Sinar lampu saksi bisu segala peristiwa, tersembunyi dari mata. Pesanpesan cinta berhembus kental dalam ruang. Tak menghitung detak jam dinding, tak mendengar suara. Cuma degup jantung mungkin, ketika pemiliknya pulas, membaca cerita. Bias warna, menggambar angan, untuk lenyap saat terjaga. Kaos kaki menyebutnya mimpi, mengirimkan kembali ceritacerita dari kaki kepada lantai.

Kelak di sebuah petang, sekeping dinding rumahku jatuh berserak di lantai. Aku bertanya pada sinar lampu, siapa menghadiahkan sayapsayap kepada rayap.

Dewi venus, kubaca namanya dari sobekan sebuah buku, tergeletak di lantai. Aku tak pernah tahu siapa menerbangkan lembarlembar sajakku kepada lantai, saat kulihat bayangbayang rayap bersayap terbang dekat sinar lampu, serupa puting beliung. Berputar, terbang ke atas, membentur atap, lalu rebah layaknya jenasah*  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar