Senin, 17 Januari 2011

rakyat kecil

Menjelang akhir tahun waktu seolah berjalan lebih cepat, seakan ingin segera menyelesaikan semua cerita. Sedang berusaha keras meninggalkan kenangan indah kepada semua pembaca waktu. Hujan juga turun lebih kerap, dan mendung lebih sering meneduhkan hari-hari dari terik. Udara lembab mengurung siang dengan kehangatan yang membuat punggung pekerja-pekerja yang tak bekerja dalam ruangan dengan pendingin udara menjadi basah oleh keringat. Selepas tengah hari, biasanya semua gerah berlalu, angin bertiup sedikit kencang, membawa kesejukan, membuat peluh mengering dan udara kota berwarna teduh dinaungi awan kelabu.

Begitulah yang selalu terjadi, dan seseorang yang sederhana seperti Soleh tak punya hak atau alasan untuk mengeluh tentang cuaca. Terik dan mendung telah jadi sesuatu yang tak perlu dipertanyakan. Jika berkeringat, akan diusapnya dengan sehelai handuk kecil made in china yang selalu tersampir di bahunya. Jika udara dingin, tak perlu mengenakan baju hangat yang memang tak dimilikinya. Bahkan hujanpun sering terhiraukan. Selalu saja hanya mondar mandir mengangkut apa yang perlu diangkut yang dikerjakannya sepanjang hari. Tapi mengangkut sesuatu adalah berkah bagi Soleh, semakin banyak yang bisa diangkutnya, berarti semakin banyak pula upah yang akan diterimanya. Dan upah itu tak ternilai harganya. Berapapun jumlahnya, upah adalah segala yang diperjuangkannya sepanjang waktu, setiap hari, dari tahun ke tahun.

Soleh adalah manusia biasa, yang sering diberi sebutan rakyat kecil di negerinya sendiri. Meski dia sendiri tak pernah merasa dirinya kecil. Tubuhnya cukup kekar dengan tinggi sekitar 170 cm, bahunya cukup bidang dan pangkal lengannya tampak berotot, walaupun tak pernah mengenal latihan olah tubuh, tapi semata-mata karena hampir sepanjang waktu harus menopang beban berat yang membuat otot-ototnya berkembang. Setiap hari selalu saja ada berkarung-karung barang yang mesti diangkutnya. Beragam isi, berat dan ukuran karung-karung tersebut. Beras, gula, kelapa, kentang, dan berjenis-jenis bahan makanan pernah diangkutnya, sampai semen dan batu kapur, pernah singgah di bahu dan lengannya.  Singkatnya itulah profesinya, tentu sudah pasti Soleh tak tahu arti kata profesi, lebih akrab dan sederhana Soleh adalah tukang angkut barang di sebuah pasar. Atau lebih singkatnya Soleh adalah kuli angkut.

Bukan sebuah pekerjaan yang pernah dicita-citakan seseorang, kuli angkut. Tak pernah ada anakanak yang bercita-cita hendak jadi kuli angkut jika dewasa, pun seandainya ayah atau kakeknya sekalipun telah sukses menggeluti pekerjaan angkut-mengangkut barang. Kemungkinan besar begitu pula yang terjadi dengan para orang tua, tak ada yang pernah mengangankan anak lelakinya kelak akan bekerja sebagai kuli angkut. Meski semua tahu, kuli angkut adalah pekerjaan halal yang hampir tanpa resiko berat. Tidak seperti  tentara atau polisi misalnya, yang sama-sama bertubuh kekar, masih ditambah dengan seragam licin yang penuh hiasan dan tulisan, masih pula terbayang penghasilan, tunjangan dan kemudahan yang bisa didapat, namun dibalik semua itu nyawa dan keselamatan selalu jadi taruhan yang harus siap dilepaskan kapanpun keadaan menuntut.  Dari segar bugar, bisa tiba-tiba terbujur meregang nyawa. Sementara seorang kuli hampir pasti tak akan mengalami keadaan serupa itu, resiko terburuk paling-paling adalah salah urat, pegal-pegal atau demam jika terlalu lelah bekerja. Terlepas dari fakta bahwa nasib dan umur manusia adalah rahasia Allah, kuli angkut tetap diyakini sebagai pekerjaan yang lebih aman dibanding beberapa profesi terhormat lainnya.

Hari ini, lima belas hari menjelang pergantian tahun, adalah hari yang sama persis seperti hari-hari yang lainnya selalu sama berat bagi Soleh, seberat beban yang sudah sempat dipikul dari subuh hingga menjelang sore. Berbeda sekali dengan perutnya yang terasa begitu ringan, kosong, hingga kadang terdengar suara-suara seperti gelegak air di ujung kran. Singkatnya Soleh memang lapar, meskipun dia berusaha keras menepis rasa perih di lambung dari pikirannya, tapi bunyi-bunyian dari perutnya tak bisa diredakan dengan pikiran dan ketabahannya menanggung lapar. Dari pagi hanya sepiring nasi yang mengisi perutnya, bukan nasi putih pula. Nasi jagung dengan kandungan gula dan karbohidrat lebih rendah, sedikit sambal dan ikan asin sebagai lauknya. Dan segelas besar kopi yang tadi dibelinya di warung langganannya. Bibir dan lidahnya juga terasa asam, merindukan aroma tembakau.

Namun Soleh bertahan, tak ingin menuruti semua hasratnya.  Tak ingin melepaskan selembarpun uang dalam saku celananya, upahnya mengangkut barang seharian. Seandainya ada seseorang yang menyadari betapa tabah dan tegarnya Soleh selama sebulan ini mengekang semua kesenangan dan keinginannya, mungkin akan terketuk hatinya untuk memberikan suatu bentuk penghargaan bagi keteguhan dan ketulusannya. Karena semua ketabahan itu bersumber dari rasa kasihnya kepada seorang perempuan sederhana yang setahun lalu dinikahinya, perempuan yang sekarang tengah mengandung anaknya.

Murni, nama perempuan itu, dikenalnya di pasar ini pula, dua tahun silam. Seorang perempuan yang sama-sama sederhana dan tabah seperti suaminya. Sebelum dinikahi Soleh dengan mas kawin seperangkat alat sholat, Murni yang yatim piatu bekerja sebagai pembantu di sebuah toko kelontong di mana Soleh sering mendapat order mengangkut barang. Seorang bibinya membawa Murni ke kota sejak Murni berumur lima belas tahun, setelah peringatan 40 hari kematian ayahnya di kampung. Ibunya telah bekerja ke luar negeri, sajak Murni bisa berjalan dan baru saja disapih.

Hanya di tahun pertama ibunya mengirim kabar, meminta ayahnya menjaga Murni baik-baik dan bersabar karena belum bisa mengirim gajinya, sesuai peraturan dan perjanjian, uang tersebut digunakan untuk melunasi hutang kepada agen tenaga kerja yang memberangkatkan ibu. Tapi malangnya di tahun berikutnya, masih tak ada uang yang datang, bahkan lebih buruk, tak ada kabar. Murni dan ayahnya mau tak mau harus menerima kenyataan kalau ibunya telah hilang tanpa jejak, bagai ditelan bumi. Agen tenaga kerja selalu memberikan jawaban yang berbelit dan tak bisa dipahami setiap kali ayah Murni atau kerabat lain menanyakan keberadaan ibunya. Seperti layaknya rakyat kecil, semuanya berakhir dengan kalimat, menerima takdir, dengan ikhlas, semuanya adalah nasib yang sudah digariskan oleh yang di atas. Untuk rakyat kecil hanya ada satu garis, tak ada pilihan selain mengikuti satu garis yang biasanya tak lurus, tak ada gugatan, dan hidup akan terus berlangsung seperti biasa.

Takdir itu yang dipercaya Soleh dan Murni ketika mereka pertama berjumpa, lalu saling jatuh cinta, hingga berujung ke pelaminan. Hanya takdir semata yang membuat Soleh dan Murni mampu bertahan, hidup berdua dalam segala haus dan lapar. Mas kawin yang diberikan Soleh telah benar-benar jadi benda paling berharga dalam kehidupan rumah tangga mereka. Mungkin senilai emas, ketika Murni memakainya untuk bersujud, menggumamkan puji dan syukur atas semua rejeki yang mereka terima setiap harinya.

Disebut rakyat kecil, mungkin juga berarti selalu menginginkan yang kecil-kecil saja. Atau jika dibalik sudut pandangnya, semua yang kecil cukuplah untuk rakyat kecil. Mimpi dan harapan yang kecilpun cukuplah. Ketika Murni mulai mengandung, mereka juga menyambut dengan gembira, meski hanya mimpi dan harapan kecil yang bisa diberikan untuk si jabang bayi, yang kemungkinan juga akan terlahir dengan tubuh kecil karena kurang asupan gizi. Semoga saja tak begitu adanya.

Setiap hari Murni selalu menyelipkan doa agar kelak bayinya terlahir sehat. Solehpun tak henti berharap yang sama, ditambah dengan harapan agar proses persalinan berjalan lancar, hingga tak butuh biaya besar, kata besar selalu jadi menakutkan bagi rakyat kecil. Namun diam-diam Soleh punya harapan yang tak pernah dikatakan pada istrinya, semata karena tak ingin membuat Murni jadi kecewa jika nantinya tak terwujud. Seperti kebanyakan calon ayah lainnya, Soleh ingin agar anak pertamanya terlahir laki-laki, agar kelak dapat jadi kebanggaan sekaligus ikut menopang dan menjaga kelangsungan hidup keluarganya. Seperti dirinya sendiri, anak lelaki sulung kebanggaan bapaknya, yang begitu lulus sekolah dasar telah bisa ikut bapak ke pasar, membantu bapak mencari uang demi ibu dan adik-adiknya.

Soleh tersenyum sendiri, sambil mengusap keningnya, mengkhayalkan bahwa rumah kontrakan kecilnya tak lama lagi akan jadi lebih ceria dengan kehadiran seorang bocah lelaki yang periang. Sesaat kemudian lamunannya segera terkoyak oleh teriakan panik bu Sri tetangga mereka,”Soleh…Soleh…! Istrimu, ketubannya barusan pecah.”

“Hah…?”

“Cepat ke puskesmas. Mamat dan Rini yang bawa ke sana, takut keburu lahir anakmu !”

Perjalanan dari pasar ke puskesmas bagai terbang, Soleh tak mampu mengingatnya, selain kakinya yang mengayuh pedal sepeda sekuat tenaga. Bahkan Soleh tak sadar bahwa bu Sri yang gemuk tadi hampir tertinggal di pasar, jika tak buru-buru meloncat ke boncengan sepedanya, membuat roda belakang sepedanya mengempis, hingga makin berat Soleh mesti mengayuh.

Beranda puskesmas lenggang di sore hari. Ada beberapa tetangga yang segera berdiri melihat kedatangannya, namun hanya ada wajah Murni di pelupuk mata Soleh. Dan suara tangis bayi menyentak jantungnya. Mbak Rini dengan nafas tersengal berkata ,“Sudah lahir barusan. Perempuan. Dua setengah kilo.”

“Alhamdullilah…” Bersamaan kata itu terlontar dari bibir Soleh dan bu Sri.

“Sebentar lagi juga sudah boleh pulang, sekarang bidan masih merawat istrimu.”

Mata Soleh berkaca-kaca, dalam hati dia berkata,” Tak apa-apa perempuan, yang penting selamat dan sehat. Lagipula kalau perempuan pasti kelak tak akan jadi kuli angkut macam bapaknya ini.” Soleh mengatur nafasnya dan mulai tersenyum lagi, membayangkan seorang anak perempuan manis yang akan meramaikan rumah kecilnya*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar