Minggu, 16 Januari 2011

terompet

Deretan terompet berbaris, macam prajurit gagah siap berperang. Mendatangi kota, jalanan membeku kelabu, meredam senyum dusun. Terompet membawa harapan dalam tiap tiupan. Jika ada bocah meminta keriangan di harihari mendung akhir tahun.

Lelaki pemikul terompet di punggung, mungkin tak pernah menyangka, terompet membawa serta doa perempuan dan anakanak di beranda rumahnya.  Peluh dan airmata menjelma kilau di tiap nyala warnanya. Aku bertanya kepada malam, sejauh apa gerimis bisa mengantar harapan pulang.

Lapar dan hujan menerpa, terompet berkerudung plastik, tak boleh terkena air, harus tetap tegak sampai detik terakhir yang akan dihitung waktu pergantian tahun. Aku ragu, jika doa tak sungguh teguh menyertai, mungkinkah terompet bisa bertahan,  mewujudkan mimpi baru di tahun berikut.

Kota butuh terompet, butuh lelaki dan perempuan yang mau menggunting dan merekat kertas bekas jadi kerucut kokoh berwarna cantik, mampu berbunyi nyaring, lebih dering dari bunyi  panggilan penting di semua saku, lebih genting dibanding suara petir yang mungkin menghadang pesta kemenangan di depan mata.

Aku menduga banyak kota seperti kita, tak tahu benar kalau butuh selama bisa didapat. Selama  terompet masih datang menumpang bahu dan punggung lelaki tak penting, kota dan kita tak akan pernah tahu terompet dan lelaki yang membawanya ke kota adalah penting. Itu sebabnya aku melihat segerombolan lelaki lain yang merasa dirinya penting di kotaku, mengusir lelaki pembawa terompet, menyingkirkan harapan yang digelar terompet di jalanjalan kota.

Peraturan, kata para lelaki pengusir terompet kepada para lelaki yang memikul terompet di punggungnya. Pengusir terompet mengendarai truk bertubuh tembaga, kusam dan asam dipandang. Mungkin truk merasa iri dan dengki pada terompet yang seksi, berwarna cerah, dan berumbairumbai. Aku hanya bisa melambai , tidak dengan tanganku, ketika para lelaki pembawa terompet lari berhamburan dari jalanjalan kota, sembunyi di ganggang dan tikungan. Seperti perempuan dan anakanak dusun, aku masih menaruh harapan pada terompet.

Seperti perempuan dan anakanak dusun, aku percaya terompet tak akan menyerah. Serupa prajurit paling tangguh, terompet akan kembali ke jalanjalan kota membawa harapan, menawarkan keriangan seharga lima ribu perak bagi yang siapa saja yang berani bergembira, meniupkan keriangan di penghujung waktu.

Setelah pesta kemenangan usai, tahun berganti, lelaki pembawa terompet kembali pulang kepada dusun, kepada perempuan dan anakanaknya. Tanpa terompet dipunggungnya tentu. Prajurit yang baik hanya akan pulang dengan kenangan, dan kemenangan yang siap ditukar dengan segala impian.

“Apa kau tahu, di pesta kemenangan, para lelaki pengusir terompet akan mencari lelaki pembawa terompet, bahkan rela menukar lima ribu peraknya dengan sebuah terompet untuk menyenangkan perempuan dan anakanaknya ?” tiang listrik tibatiba berbisik padaku, mengedipkan sinarnya sejenak, benar sejenak saja, segera tegak kembali menerangi jalanjalan kota*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar