Jadi dibalik tirai mana kausembunyi siang ini. Janji mencoba mewujudkan diri dalam tubuh sunyi, membaca pesan gurat matahari sebelum rebah. Lelah serupa tuah, tak bisa dicegah menggagahi lidah muntahkan serapah, atau sampah. Menanti kabut turun selimuti bau busuk udara.
Ini hari ada yang harus tersaji, tumbukan kacang, wijen bercampur karamel, dalam balutan liat tapioka. Bulat, lembut dan kenyal, serupa kenangan purba di mata merah manusia bijak. Bersila di atas altar, jubah sutra, menatap tarian api di ujung lilin. Bayangbayang tombak menari di dinding. Aku gentar mengingat kahyangan, warna jingga selalu perkasa menunggangi angan dengan mimpi liar.
Tirai masih melambai, di bukutbulit landai, tanpa tiang, menantang badai. Apa artinya lalai untuk seorang tanpa masa lalu. Hangat dan manis kuah jahe merayu gerahamku mengunyah namamu. Tak ingin jadi luhur, jauh dalam kepalaku bungabunga mulai gugur, terbenam dalam nisannisan patah yang marah. Aku tak punya leluhur, tak tahu bersyukur. Anjing buduk terkutuk yang duduk terkantukkantuk sepanjang hari di samping tempat tidurmu. Tak juga begitu, lebih buruk, anjing buduk yang berjalan kesana kemari dalam dengkur, terusmenerus meneteskan liur.
Persis jejak siput, kupandangi langkahku tertinggal di kuburankuburan besar. Mungkin bangkai butuh berlari dan loncat kesana kemari saat didatangi malaikat. Batapa aku berhutang pada segala yang memuakkan. Bolabola merah putih berenang di kuah jahe. Manis pedas khilafku kutelan satusatu, berharap akhir segera datang merobek semua tirai, biar kupandang sepenuh sayang, saat kauhujamkan tombak di lambungku yang bebal. Mungkin aku akan mendengking lirih sebelum hening*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar