Senin, 17 Januari 2011

padan

Aku akan mati kalau tak menulis, tentang kau dan matamu yang lebih luas dari samudra. Kucoba diam, diam, mengikat tangan dan jarijariku dengan kebekuan, memenuhi kepalaku dengan segenap gambar dan suarasuara setiap saat, membunuh rinduku entah dengan apa, tanganku terikat dan kepalaku penuh. Aku merasa kehilangan diriku, diriku yang selalu ingin menulis tentangmu.

Aku duduk di depan monitorku, menangkap beruang, mengumpulkan telur, bulu domba dan susu. Aku tak tahu siapa yang mengendurkan ikatan kebekuan di tanganku, jarijariku bisa bergerak. Tapi ada yang salah, kebekuan mencekik leherku. Aku tersengal menghirup udara, tibatiba isi kepalaku membuncah, tumpah, mengotori dinding dan lantai. Sementara aku sedang memanggang kue, sambil memintal selimut wol  dan membuat keju. Ini sangat memuakkan. Ikanikan membakar dirinya, keluar masuk kepala lewat mataku. Aku ingin berteriak dan menyudahi semua. Aku mulai mencari katakata yang bisa membuatku tertawa, tak ada apaapa. Aku tersesat sendiri di belantara yang tumbuh terlalu cepat dari telinga. Segera kuputuskan berlutut, komatkamit membaca mantra, kusebut doa, sederhana saja, hanya satu kata, biasanya membereskan masalah. Aku bernafas lebih lega, sedikit saja. Setetes samudra.

Kurasa aku bisa mati kalau tak menulis tentangmu, alangkah bodoh, aku bisa mati, pasti, kalau tak menulis tentangmu. Aku mulai merapikan lantai, menyingkirkan korankoran tua, sambil mencaricari katakata yang tumpah dari kepala. Ada kau di manamana, bersembunyi di balik pohonpohon yang sudah tumbang, berlarilari di halaman rumahrumah yang sudah terbenam. Kukumpul satu persatu tentangmu, kudekap erat di dadaku, kembali duduk di depan monitorku. Beruang mulai berjatuhan dari langit, bebek, domba dan sapi berteriakteriak. Aku bisa mati kalau tak menulis tentangmu. Cinta membunuh semua alasan, katamu. Kubunuh monitorku, kupandang matamu, lama, berharap mampu membunuh waktu di situ*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar