Hari ini berjalan lagi, menyusuri rantai di pinggangku. Aku memakai topi, payung, meniup seruling, membawa tas tangan, senapan, menjadi orang. Siapa bilang aku orang, kalian pandai mengarang, merangkai bunga, membuat bejana. Orang pergi ke pasar, ada yang menabuh gendang, berdendang, aku berjalan membawa tas tangan, memakai payung, seperti nona di kotakota. Aku juga tertawa.
Harmonika saja, kuminta kenangannya, suara sengaunya bikin aku merasa seputih dan seteguh bangau, berdiri dengan satu kaki di sela batang padi. Bukankah itu indah, jangkung, putih, bersayap, berparuh tajam. Angin bertiup kencang, mengguncang tubuhku, kubenamkan kakiku dalam lumpur, biar kelihatan tegar, angin boleh menampar, bangau tetap nanar, tegak tak bersandar. Lumpur akan menyimpan rahasia, betapa dalam kaki bangau meretakkan dadanya.
Layar diturunkan hujan, aku berganti peran, siapa paling suka hujan. Katak, aku melubangi dinding perut bangau, serupa anakanak bangau menetas dari cangkang telur, mataku bulat, menatap kulit bangau di bawah kakiku, terkoyak, lembut, putih, hangat, masih berdenyut. Aku buruburu bernyanyi, sebelum hujan keburu berhenti. Aku bernyanyi terus sambil menimbangnimbang, musim apa segera menjelang.
Pohonpohon sunggub beruntung, tumbuh tinggi, mungkin bisa mengintip penghuni langit. Haruskah percaya langit di atas kepala, jika aku bukan orang, kepala bukan kepala, langit bukan di atas. Ada yang salah mengajariku berjalan, ibukah, ayahkah, aku tak kenal siapasiapa, selain harmonika. Bukan orang pasti menyenangkan. Berpurapura paham, menjulurkan lidah, menanti sesuatu tergiur nafasku, hinggap, lalu ditangkap, dilahap. Kutelan pelahan lekuklekuk mahluk yang jatuh cinta pada lidahku.
Suarasuara berseru marah, salah, salah. Tak boleh memangsa mahluk dengan cara pengecut, orangorang berkata. Aku masih bukan orang, tapi aku mendengar, ingin kututup telingaku, andai aku orang, bertelinga dan tahu di mana letaknya. Tapi aku bukan orang, tak tahu dengan apa aku mendengar.
Pohon berkata, seperti daun, pohonpohon juga tak tahu kalau punya daun, beriburibu lembar berkibar di satu dahan, bisa gemerisik dan melambailambai.
Aku tersentak, rantai di pinggangku mengencang, ayo jalan, ada orang berkata, orangorang sudah bubar. Aku masih tak tahu di mana letak telingaku. Aku bertanya pada orang yang menarik rantai di pinggangku. Orang seperti tak mendengar. Kulihat telinganya, tak mirip daun, tak gemerisik pun tak melambailambai, telinga orang itu diam, mungkin telinga tak mendengar. Atau telinga orang tak paham kalimatku, aku bukan orang. Daundaun menganggukangguk, tanpa kepala*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar