Sepanjang jalan kucoba memunguti jejakjejak menuju rumahmu. Lumpur sudah mengering di kaki telanjang, mencari sepatu yang hanyut ke laut. Laut serakah, menelan segala, sampah, jendela rumah, pintupintu kamar, jembatan dan tugu di tengah kota.
Lelaki dekil itu tak bercelana, seorang penarik becak marah,”Ke mana lagi kaubuang sarungmu, baru kemarin kuberi?” Lelaki dekil purapura tuli, atau telinganya memang benar telah copot lalu hanyut juga ke laut. Laut serupa mulut rakus, selalu mengaum lapar tak berjeda, apa saja ditelannya mentahmentah. Plastik atau baja tak beda, telinga atau sajadah, celana atau ijasah sama saja. Hanya bisa hanyut terseret banjir, tak surutsurut.
Pemulung menatap mataku, bibirnya seperti mencibir,”Ini wilayahku.” Aku seperti membalas tatapannya, mataku seolah berkata, kau tahu apa. Aku punya urusan penting, mencari daftar nilaiku, tersapu tak sengaja, atau dicuri berangberang untuk dijadikan sarang. Aku ingin menghardiknya, pemulung lusuh, andai saja tak kudengar cicit anakanak ayam di balik jaketnya. Aku merasa serba salah, meski tak merasa pernah menculik induk ayam dari kandangnya.
Penarik becak menendangi tungkai lelaki dekil. Bebal saja lelaki dekil, macam badak. Lelaki dekil tak merasa perlu pakai celana, tak ada yang berminat pada pahanya. Aku tertawa, penarik becak mendekati pemulung, berdiri berjajar mengorek tempat sampah, saling berpandangan tanpa sapa, anehnya, dendam bisa datang meski tak ada penghasut mengantar. Sebuah kantong plastik berwarna hitam menyelesaikan masalah.
Penarik bacak kembali mendekati lelaki dekil, memandang geram, menendang beberapa kali sambil mengomel, lalu membungkus kemaluan lelaki dekil dengan kantong plastik hitamnya. Aku tergelakgelak, keras dan sendiri, seperti gila, melipat perut untuk sebuah pekerjaan mulia. Puji tuhan, penarik becak yang tahu adat, penarik becak yang mungkin akan mengantarkan orangorang menempuh jalan menuju arah.
Pemulung kembali menatapku, seperti tak suka melihatku tertawa. Aku meninggalkan jalan, menepi, bersandar pada sebuah tiang. Sebelum mulai berjalan, kucoba mengingat semua yang terjadi sebelum badai menerjang, sebelum lelaki dekil kehilangan celana, sebelum penarik becak datang memberi lelaki dekil selembar sarung, yang lagilagi dihilangkan lelaki dekil, mungkin terseret arus.
Pemulung masih berada di rumahnya, memberi ayamayamnya makan. Anakanak ayam tertidur aman terlindung cangkang telur. Sesaat sebelum air bah bergulunggulung datang, rumahku adalah rumahmu. Aku belajar untuk menempuh ujian, kau memberiku beberapa soal. Sampai aku jenuh, cuma bisa memandangi wajahmu, andai kau tahu, betapa aku ingin kau mengecup mataku.
Aku tersenyum, memandang senyum bulan, wajahnya pucat, membiaskan keraguan. Kehilangan kadang serupa penantian. Lenggang. Hanya tiangtiang, di puncaknya lampu tergantung, di bawahnya aku berdiri mematung memandang laut, mungkin di dasarnya tersimpan semua benda yang pernah hilang. Tapi hatiku tak terkira lebih luas dan dalam dari laut manapun, ikan paus pernah membisikkannya padaku sebelum ajal benarbenar mendekapnya. Air mataku mengalir di punggung ikan paus, tak pernah cukup menggantikan laut. Ikan paus terdampar di tepi pantai ketika laut menyurut. Aku terseret ombak, tenggelam ketika badai dan pasang datang, bersamasama menghempaskan jiwa di kedalaman, mengapungkan tubuh di permukaan gelombang. Hanya menyisakan senyap.
Senyap menetap, menatap lewat kerlip malam di mata bintang. Senyap tak pernah lenyap. Hanya tidur lelap. Sempat kulihat bulan sungguhsungguh tersenyum menatapku sebelum terlelap*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar