Rabu, 05 Januari 2011

tentang rasa

Aku akan jadi orang kebanyakan hari ini, mengingat nisan. Sepotong kayu bertuliskan nama dan peristiwa. Sekolah menyebutnya sejarah. Aku memanggilmu ayah. Ayah menumpahklan darah di tubuh ibu. Agar mengandung dan lahir aku, untuk menanam bunga di halaman istana. Karena hari ini butuh banyak bunga dipetik, untuk nisan, atau seorang teman.   

Seorang teman, tampan dan cerdas, berkulit gelap, dari negeri yang jauh, hari ini mengunjungi ibu. Saudarasaudaraku berpakaian rapi, memakai sepatu, menyanyikan lagu, menulis surat, dan entah apalagi untuk tamu ibuku. Aku hanya berkata, selamat berjumpa tanpa ingin menatap wajahnya, aku tak pernah rindu kepada saudarasaudaraku, tak pernah ingin bertemu. Sepatuku berlubang dan terlalu banyak bicara, aku tak mau sepatuku terbunuh. Kecuali ada yang berjanji memberiku sepatu baru.

Biarlah hari ini aku sekolah seperti biasa, menjinjing ransel di punggung, tanpa bekal, tanpa pulpen, tanpa bukubuku. Ayahku berkata, sekolah untuk mencari ilmu. Kupikir jika aku menemukan ilmu, akan kubawa pulang, kutunjukkan pada ibu, akan kutaruh di mana kalau ranselku penuh, ilmu itu.

Nisan tertawa, dasar anak ular. Aku tibatiba ingat orang asing berkulit gelap itu punya bendera bergambar bintang. Aku mencari nomor teleponnya, tak tercatat di halaman kuning, apa dia sungguh tak bisa dibeli. Aku ingin tahu, kalaukalau dia mau menjual satu bintangnya padaku. Sepatunya pasti mahal, aku ingin pinjam.

Nisan lagilagi tertawa, bahagia, hari ini banyak yang mengirim bunga. Bukan aku, bungaku sudah habis kubagibagikan pada anakanak anjing. Gemuruh suara tepukan, tamu ibuku ternyata menyenangkan banyak tangan. Syukurlah, hari ini banyak yang jadi bahagia. Bagaimana dengan ayah.

Nisan mengedipkan mata, riang dan jenaka. Saatnya menyanyi bersama. Lagu kesukaan ibu. Apa aku harus menunduk, memandang lubang sepatuku. Menganga, sepertinya jemari kakiku sedang bersiul. Ayah baikbaik saja, juga sedang tertawa geli, tubuh ayah digelitik cacing. Ayah bilang, ini terapi hati.
Nisan bernyanyi,”Aku tersesat menuju hatimu, beri aku jalan yang indah…”  Tentang rasa, seorang gadis berseragam sekolah menebak.
"Tepat, nilai seratus untuk pelajaran agama," Bapak kepala sekolah berkata.

“Manusia memang gila,” Malaikat di atas pohon menggelanggelengkan kepala.

Ayah bangga melihatku,”Jadilah manusia, jangan mengulang sejarah.”
Nisan kini terharu, lagunya jadi sendu. Aku menunduk menatap ibu dalam lubang sepatu* 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar