Lampung Post, Minggu, 14 November 2010
SENI BUDAYA
SAJAK-SAJAK Rose Widianingsih
Allegro
Detikdetik membatu, menguntai rindu jadi kalung, kaupasang di leherku. "Cantik!" katamu.
Cuma satu kutunggu, gelap malam tiba di ruang tanpa bayang: kalung lepas dari leherku, terurai dan terjerat di rambutmu.
Nadi bergemuruh, menyatu tanpa tanya, tanpa jawab pada harap. Hanya celah dimana jari cahaya menari di waktuku. Detikdetik membeku, terbang jadi bintangbintang.
Mei 2010, Pasuruan
Laut
Tiada yang mampu menelan luka lebih daripada senja. Saat senja beranjak dari muara, genangan darah tersangkut di butir pasir, bebatuan, haluan kapal dan cangkang kerang. Lagu mengalun dari ruang benderang di balik jendela. Pilu meratapi tubuh yang tak utuh, terseret arus ke tengah samudra.
Mimpi pecah dalam riak perak, menenggak tiap jarak, bisu. Seolah ada yang singgah, tak sempat menulis jejak gelombang di pantai.
Begitukah buih takdir dihela tinggi, menari di puncak ombak, hempas di runcing karang? Bilakah sampai di gerbang istana pasir yang tak terhitung kubangun di jantungmu?
Maret 2010, Pasuruan
Sungai di Jantungmu
Sebuah kisah menderas dari rekah jiwa. Mataair memancar jernih, menyusur bukitbukit, mengalir lembut dan meriak kuat di sepanjang lengkung bumi. Sempat menyapa akar rumput, perdu, ilalang dan batang bunga. Membelai bebatuan dalam pelukan lumut. Menyeret kerikil dan pasir dalam buai arus, menghanyutkan ranting dan daundaun kering. Kelopak bunga melempar diri pada lenganmu, mengajak berdansa, merayakan deras kebebasan. Tak pernah ada lelah menggubah gerah jadi kisah. Dan basah di tepian pasir menandai jejak kaki pendulang emas dari jantungmu.
Mei 2010, Pasuruan
Pembunuh Mimpi
Selamat datang, Tuan. Belum terlalu sore saat Tuan singgah, membawa wadah gabah sambil menengadah berkah langit. Butirbutir coklat keemasan diburu dendam sepanjang musim. Dan Tuan datang membawa damai, menyemai lalai. Kini sawah melambai gemulai, memikat mimpi tertunda dalam dada yang terbakar. Hanya sekejap Tuan singgah merangkul jejak cangkul, memacu resah rumput liar perambah batang padi. Tapi ada catatan kaki di pematang, mestinya digenggam untuk mengikat mimpi. Senyum perempuan dan anakanak tani terkembang sempurna, melawan semua yang gulita, menyiapkan musim tanam mendatang. Pahit selalu mudah dipahami di bawah rindang pohon asam. Dan perlahan rinai gerimis mengalir di sela batang jerami.
April 2010, Pasuruan
Senyum Awan
Aku menunggang waktu menuju rumahmu. Begitu dekat pada keriput wajah dan tanganmu. Mencium bau tubuhmu: mengenang nyaman aroma bedak bayi di tubuh anakanak kucingku yang baru mandi.
Kau memandangku tersenyum, seolah berkata, seharusnya kutemui kau di bulan Mei, saat mawar liar membuka kelopak. Bersama tangis pertama bayi yang tak pernah lahir dari rahimnya. Bayi yang dibuai selendang biru, tidur dipeluk kabut. Bayi yang tak pernah resah pada lolong anjing gila, hanya ribut menyambut nada harmonika dari saku baju seorang lelaki di masa yang jauh. Lelaki yang pernah berjalan ke arah hutan, lalu menghapus jejaknya.
Kau masih diam, masih tersenyum. Aku menari di kamar tidurmu. Membolakbalik halaman buku yang pernah kau bacakan untukku: peter anak kelinci yang nakal, bambi, thumbelina, itik buruk rupa, juga dongeng tentang pena dan botol tinta. Semua buku masih seharum rambutmu, walau hurufhuruf dan gambar telah pudar, mungkin terhapus debu dan udara lembab kenyataan.
Aku masih betah, tapi matamu berkata, pulanglah. Aku ingin memelukmu tapi lenganmu seolah berkata, lepaskanlah. Pelanpelan kupungut semua buku di lantai. Harus kusimpan rapi semua kenangan dalam gumpalan awan: agar aku selalu bisa pulang.
April 2010, Pasuruan
----------
Rose Widianingsih lahir di Yogyakarta. Kini ia tinggal dan bekerja di Pasuruan, Jawa Timur, menulis puisi dan prosa di sela-sela rutinitas.
http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010111323223034
SENI BUDAYA
SAJAK-SAJAK Rose Widianingsih
Allegro
Detikdetik membatu, menguntai rindu jadi kalung, kaupasang di leherku. "Cantik!" katamu.
Cuma satu kutunggu, gelap malam tiba di ruang tanpa bayang: kalung lepas dari leherku, terurai dan terjerat di rambutmu.
Nadi bergemuruh, menyatu tanpa tanya, tanpa jawab pada harap. Hanya celah dimana jari cahaya menari di waktuku. Detikdetik membeku, terbang jadi bintangbintang.
Mei 2010, Pasuruan
Laut
Tiada yang mampu menelan luka lebih daripada senja. Saat senja beranjak dari muara, genangan darah tersangkut di butir pasir, bebatuan, haluan kapal dan cangkang kerang. Lagu mengalun dari ruang benderang di balik jendela. Pilu meratapi tubuh yang tak utuh, terseret arus ke tengah samudra.
Mimpi pecah dalam riak perak, menenggak tiap jarak, bisu. Seolah ada yang singgah, tak sempat menulis jejak gelombang di pantai.
Begitukah buih takdir dihela tinggi, menari di puncak ombak, hempas di runcing karang? Bilakah sampai di gerbang istana pasir yang tak terhitung kubangun di jantungmu?
Maret 2010, Pasuruan
Sungai di Jantungmu
Sebuah kisah menderas dari rekah jiwa. Mataair memancar jernih, menyusur bukitbukit, mengalir lembut dan meriak kuat di sepanjang lengkung bumi. Sempat menyapa akar rumput, perdu, ilalang dan batang bunga. Membelai bebatuan dalam pelukan lumut. Menyeret kerikil dan pasir dalam buai arus, menghanyutkan ranting dan daundaun kering. Kelopak bunga melempar diri pada lenganmu, mengajak berdansa, merayakan deras kebebasan. Tak pernah ada lelah menggubah gerah jadi kisah. Dan basah di tepian pasir menandai jejak kaki pendulang emas dari jantungmu.
Mei 2010, Pasuruan
Pembunuh Mimpi
Selamat datang, Tuan. Belum terlalu sore saat Tuan singgah, membawa wadah gabah sambil menengadah berkah langit. Butirbutir coklat keemasan diburu dendam sepanjang musim. Dan Tuan datang membawa damai, menyemai lalai. Kini sawah melambai gemulai, memikat mimpi tertunda dalam dada yang terbakar. Hanya sekejap Tuan singgah merangkul jejak cangkul, memacu resah rumput liar perambah batang padi. Tapi ada catatan kaki di pematang, mestinya digenggam untuk mengikat mimpi. Senyum perempuan dan anakanak tani terkembang sempurna, melawan semua yang gulita, menyiapkan musim tanam mendatang. Pahit selalu mudah dipahami di bawah rindang pohon asam. Dan perlahan rinai gerimis mengalir di sela batang jerami.
April 2010, Pasuruan
Senyum Awan
Aku menunggang waktu menuju rumahmu. Begitu dekat pada keriput wajah dan tanganmu. Mencium bau tubuhmu: mengenang nyaman aroma bedak bayi di tubuh anakanak kucingku yang baru mandi.
Kau memandangku tersenyum, seolah berkata, seharusnya kutemui kau di bulan Mei, saat mawar liar membuka kelopak. Bersama tangis pertama bayi yang tak pernah lahir dari rahimnya. Bayi yang dibuai selendang biru, tidur dipeluk kabut. Bayi yang tak pernah resah pada lolong anjing gila, hanya ribut menyambut nada harmonika dari saku baju seorang lelaki di masa yang jauh. Lelaki yang pernah berjalan ke arah hutan, lalu menghapus jejaknya.
Kau masih diam, masih tersenyum. Aku menari di kamar tidurmu. Membolakbalik halaman buku yang pernah kau bacakan untukku: peter anak kelinci yang nakal, bambi, thumbelina, itik buruk rupa, juga dongeng tentang pena dan botol tinta. Semua buku masih seharum rambutmu, walau hurufhuruf dan gambar telah pudar, mungkin terhapus debu dan udara lembab kenyataan.
Aku masih betah, tapi matamu berkata, pulanglah. Aku ingin memelukmu tapi lenganmu seolah berkata, lepaskanlah. Pelanpelan kupungut semua buku di lantai. Harus kusimpan rapi semua kenangan dalam gumpalan awan: agar aku selalu bisa pulang.
April 2010, Pasuruan
----------
Rose Widianingsih lahir di Yogyakarta. Kini ia tinggal dan bekerja di Pasuruan, Jawa Timur, menulis puisi dan prosa di sela-sela rutinitas.
http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010111323223034
Tidak ada komentar:
Posting Komentar