Awal musim panas di sebuah desa. Waktunya mencukur domba. Peternak dengan gembira menyiapkan gunting dan pisau cukur, mengasahnya pada sekeping batu granit, hingga berkilat dan tajam. Dombadomba berbulu lebat berdiri berjajar, menanti giliran. Sesaat kemudian, gumpalgumpal putih berjatuhan di atas tanah. Semutsemut berlarian di sela rerumputan, bulubulu lembut dombadomba bisa membuat semut terluka, parah, mungkin sampai memjumpai ajal.
Peternak bersiul, menggerakkan gunting dan pisau cukur di sekujur tubuh domba. Domba mengunyah rumput, sesekali tubuhnya bergidik geli oleh sentuhan pisau cukur pada kulitnya. Udara terasa sejuk, awal musim panas. Langit biru cerah.
Semutsemut di sela rerumputan berkabung, masih terus berlarian mencari tempat berlindung. Banyak kerabat dan keluarga semut jadi korban, bernasib sial, punggung dan lehernya patah tertimpa bulubulu domba. Langit biru tak terlihat dari balik rerumputan, tertutup kusam dan putih bulubulu domba yang berjatuhan tanpa henti. Semutsemut berteriakteriak panik, menjerit dan menangis. Suaranya teramat nyaring di hening dini hari.
Aku tibatiba terjaga, jam empat pagi. Serta merta aku teringat pada teriakan semut, kenapa peternak menjatuhkan bulubulu domba di atas rumput, mestinya ada alas terbentang, agar bulubulu domba tak jatuh di atas tanah, tak menyentuh rumput. Mestinya bulubulu domba tak perlu jadi petaka bagi semut.
Aku terkejut saat kudengar suara ribut dari gelasku, teh manis, sudah dingin, tinggal setengah. Segerombol semut mengapung pada permukaan teh. Gundukan hitam kecil, bergerakgerak di atas permukaan air berwarna keemasan, indah. Aku melihat lebih dekat. Segerombolan semut sedang saling berpegang agar tak tenggelam, mereka memandangku, menunjuknunjuk wajahju, aku mendengar ada yang berseruseru ribut, “Cepat keluarkan kami, mestinya kautuliskan tanda bahaya di tepi gelasmu, agar kami bisa berhatihati, tak tercebur dan nyaris tenggelam begini .”
Aku menggosok mataku, masih mengantuk. Siulan peternak kembali terdengar, merdu dan riang*
Peternak bersiul, menggerakkan gunting dan pisau cukur di sekujur tubuh domba. Domba mengunyah rumput, sesekali tubuhnya bergidik geli oleh sentuhan pisau cukur pada kulitnya. Udara terasa sejuk, awal musim panas. Langit biru cerah.
Semutsemut di sela rerumputan berkabung, masih terus berlarian mencari tempat berlindung. Banyak kerabat dan keluarga semut jadi korban, bernasib sial, punggung dan lehernya patah tertimpa bulubulu domba. Langit biru tak terlihat dari balik rerumputan, tertutup kusam dan putih bulubulu domba yang berjatuhan tanpa henti. Semutsemut berteriakteriak panik, menjerit dan menangis. Suaranya teramat nyaring di hening dini hari.
Aku tibatiba terjaga, jam empat pagi. Serta merta aku teringat pada teriakan semut, kenapa peternak menjatuhkan bulubulu domba di atas rumput, mestinya ada alas terbentang, agar bulubulu domba tak jatuh di atas tanah, tak menyentuh rumput. Mestinya bulubulu domba tak perlu jadi petaka bagi semut.
Aku terkejut saat kudengar suara ribut dari gelasku, teh manis, sudah dingin, tinggal setengah. Segerombol semut mengapung pada permukaan teh. Gundukan hitam kecil, bergerakgerak di atas permukaan air berwarna keemasan, indah. Aku melihat lebih dekat. Segerombolan semut sedang saling berpegang agar tak tenggelam, mereka memandangku, menunjuknunjuk wajahju, aku mendengar ada yang berseruseru ribut, “Cepat keluarkan kami, mestinya kautuliskan tanda bahaya di tepi gelasmu, agar kami bisa berhatihati, tak tercebur dan nyaris tenggelam begini .”
Aku menggosok mataku, masih mengantuk. Siulan peternak kembali terdengar, merdu dan riang*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar