Suatu hari kau mungkin akan merasa ngeri saat mengintip dari jendela, aku sedang menggerogoti meja. Berisik sekali bunyi gigi beradu dengan kayu. Rahangku ngilu. Kupikir kau harus melototkan mata sebelum bertanya, aku sedang apa. Apa kau tak punya mata, jawabanku tak kaudengar, aku sedang mengunyah meja kayu, mana bisa dikerjakan setengahsetengah. Jangan tertawa.
Kau mendekat menyentuh punggungku, aku masih terus menunduk, sudut meja pada bibirku. Kau dengan semenamena menarik pundakku, sampai aku berdiri tegak, meja mencuat miring, mengikuti rahangku yang tegak. Gigiku menancap erat.kau berteriak. Mungkin juga memaki berulang kali, aku ingin meninjumu. Kau pasti tak tahu betapa berat aku mengangkat meja dengan gigi. Tapi sudahlah biar kulanjutkan kerjaku. Aku senang kau berlari ketakutan.
Kupikir suatu hari aku akan menulis surat padamu, setelah menghabiskan mejaku. Meski aku jadi bingung dengan alas apa nanti aku menulis. Lagipula saat mejaku habis aku mungkin cuma bisa memakan kata, melahap kertaskertas, bukubuku dan diktat, bukan membaca atau menulis lagi. Maka dengan berat hati aku melepaskan gigitanku pada ujung meja. Kutancapkan kabelkabel computer yang tadi telah lepas berserakan, kunyalakan, loading, loading, loading, akhirnya aku mulai mengetik. Tik.Tik.Tik bunyi hujan di atas genting.
Aku tak tidur selama sepekan, mataku kemasukan debu yang sangat mengganggu, membuat mataku tak bisa terpejam barang sejenak. Aku jadi resah dan sangat marah. Sementara di luar hujan terus turun, bergantian air dan abu. Tapi aku tak bisa menangis, mataku kering dan kaku, sepertinya sudah jadi mata kayu. Mata kayu bisa memandang semua yang terjadi di hutan cemara. Mata kayu melihat rumah berasap, debudebu mengubur ladang, layanglayang terbakar. Aku menggerutu sepanjang waktu, tak bisa menangis lagi. Tak lama aku mulai mengutuk mataku, sejak itu aku juga melihat hantu, warnanya mungkin kelabu, atau merah jambu, mata kayu juga suka berbohong padaku.
Tapi hantu itu sungguh cantik, sewangi bungabunga musim semi. Hantu cantik berbisik,” Aduh mata kayumu, sungguh eksotik.” Aku berusaha mendelik, hantu cantik tersenyum genit. “Jangan sengit, kau sedang di kutuk dewa bumi. Kau terlalu sering bermimpi, mimpimu mencintai langit. Dewa bumi tak suka menusia tak tahu diri.” Aku jadi tertarik. Hantu cantik mondarmandir, membuatku sangat ingin tahu. Rupanya hantu cantik juga baik hati, tak perlu kubertanya, hantu cantik berkata, “Kalau tak suka mata kayumu, kau harus makan kayu.” Belum sempat aku mendebat, hantu cantik menghilang.
Maka aku mulai bernafsu mengunyah mejaku yang kayu. Dan mataku semakin mengganggu. Aku memutuskan mengikuti petunjuk hantu cantik, ketika kau memandangku dari jendela sedang mengigit meja. Sekarang kau sudah paham, bisa kulanjutkan makanku.
Semua kembali seperti pada paragraph pertama, kau datang, memandang dari luar jendela, barangbarang berserakan, aku tekun menggerogoti meja. Dari sudut meja aku mulai mengigit. Awalnya terasa sangat keras dan pahit, lamalama jadi terbiasa. Saat kau datang berkunjung, aku sudah lumayan menikmati menuku, meja kayu. Makin lama terasa makin empuk dan sedap. Mirip biscuit dari belanda, rasa cengkeh dan kayu manis. Spekulas, nama yang unik. Meja kayuku tinggal separuh. Aku mulai merasa mataku tak lagi mengganggu.
Aku mengunyah siang dan malam, berbulanbulan, atau berabad berabad, aku tak ingat. Suara kayu beradu gigi jadi musik, menghentak. Kurasakan mataku mengalir gembira, dari lantai kamar sampai ke jalanjalan, melihat yang indahindah, marching band, lambaian kain berwarna cerah, topengtopeng tertawa, bingkisan dan aneka bunga berjatuhan sepanjang jalan, juga segala macam permen dan kue turun bagai hujan, tak ada air atau debu sedikitpun. Meja kayu hampir habis.
Aku tertidur pada gigitan terakhir, setengah bermimpi kutelan sisasisa serpihan kayu. Aku tertidur di lantai, lelap, gelap, lindap. Seperti bermimpi, seperti bernyanyi, seperti menanti. Tik.Tik.Tik. Bunyi hujan di atas genting. Aku baru tahu bunyi hujan semerdu buaian ibu, memaksaku sangat ingin membuka mata. Hanya ada cahaya. Hujan menatapku, bagaimana aku bisa tahu, tak ada lagi mata kayu padaku.
Hujan menatapku, menatap bayangbayang cahaya. “Terbanglah,” sepertinya hantu cantik berbisik, atau suara ibuku yang berkata, entah. Aku tak melihat hantu cantik datang, pun tak kudengar langkah ibu memasuki kamarku. Aku terbang, tubuhku ringan, aku terbang ke arah cahaya.
Aku mendengar kau memanggilku, menyebut nyebut namaku dengan berbagai nada. Aku berputar, tinggi, mengitari cahaya. Makin dekat, makin hangat, makin terang. “Dia hilang…” Aku mendengarmu. Aku meraih cahaya. Makin hangat, makin dekat, makin terang*
Kau mendekat menyentuh punggungku, aku masih terus menunduk, sudut meja pada bibirku. Kau dengan semenamena menarik pundakku, sampai aku berdiri tegak, meja mencuat miring, mengikuti rahangku yang tegak. Gigiku menancap erat.kau berteriak. Mungkin juga memaki berulang kali, aku ingin meninjumu. Kau pasti tak tahu betapa berat aku mengangkat meja dengan gigi. Tapi sudahlah biar kulanjutkan kerjaku. Aku senang kau berlari ketakutan.
Kupikir suatu hari aku akan menulis surat padamu, setelah menghabiskan mejaku. Meski aku jadi bingung dengan alas apa nanti aku menulis. Lagipula saat mejaku habis aku mungkin cuma bisa memakan kata, melahap kertaskertas, bukubuku dan diktat, bukan membaca atau menulis lagi. Maka dengan berat hati aku melepaskan gigitanku pada ujung meja. Kutancapkan kabelkabel computer yang tadi telah lepas berserakan, kunyalakan, loading, loading, loading, akhirnya aku mulai mengetik. Tik.Tik.Tik bunyi hujan di atas genting.
Aku tak tidur selama sepekan, mataku kemasukan debu yang sangat mengganggu, membuat mataku tak bisa terpejam barang sejenak. Aku jadi resah dan sangat marah. Sementara di luar hujan terus turun, bergantian air dan abu. Tapi aku tak bisa menangis, mataku kering dan kaku, sepertinya sudah jadi mata kayu. Mata kayu bisa memandang semua yang terjadi di hutan cemara. Mata kayu melihat rumah berasap, debudebu mengubur ladang, layanglayang terbakar. Aku menggerutu sepanjang waktu, tak bisa menangis lagi. Tak lama aku mulai mengutuk mataku, sejak itu aku juga melihat hantu, warnanya mungkin kelabu, atau merah jambu, mata kayu juga suka berbohong padaku.
Tapi hantu itu sungguh cantik, sewangi bungabunga musim semi. Hantu cantik berbisik,” Aduh mata kayumu, sungguh eksotik.” Aku berusaha mendelik, hantu cantik tersenyum genit. “Jangan sengit, kau sedang di kutuk dewa bumi. Kau terlalu sering bermimpi, mimpimu mencintai langit. Dewa bumi tak suka menusia tak tahu diri.” Aku jadi tertarik. Hantu cantik mondarmandir, membuatku sangat ingin tahu. Rupanya hantu cantik juga baik hati, tak perlu kubertanya, hantu cantik berkata, “Kalau tak suka mata kayumu, kau harus makan kayu.” Belum sempat aku mendebat, hantu cantik menghilang.
Maka aku mulai bernafsu mengunyah mejaku yang kayu. Dan mataku semakin mengganggu. Aku memutuskan mengikuti petunjuk hantu cantik, ketika kau memandangku dari jendela sedang mengigit meja. Sekarang kau sudah paham, bisa kulanjutkan makanku.
Semua kembali seperti pada paragraph pertama, kau datang, memandang dari luar jendela, barangbarang berserakan, aku tekun menggerogoti meja. Dari sudut meja aku mulai mengigit. Awalnya terasa sangat keras dan pahit, lamalama jadi terbiasa. Saat kau datang berkunjung, aku sudah lumayan menikmati menuku, meja kayu. Makin lama terasa makin empuk dan sedap. Mirip biscuit dari belanda, rasa cengkeh dan kayu manis. Spekulas, nama yang unik. Meja kayuku tinggal separuh. Aku mulai merasa mataku tak lagi mengganggu.
Aku mengunyah siang dan malam, berbulanbulan, atau berabad berabad, aku tak ingat. Suara kayu beradu gigi jadi musik, menghentak. Kurasakan mataku mengalir gembira, dari lantai kamar sampai ke jalanjalan, melihat yang indahindah, marching band, lambaian kain berwarna cerah, topengtopeng tertawa, bingkisan dan aneka bunga berjatuhan sepanjang jalan, juga segala macam permen dan kue turun bagai hujan, tak ada air atau debu sedikitpun. Meja kayu hampir habis.
Aku tertidur pada gigitan terakhir, setengah bermimpi kutelan sisasisa serpihan kayu. Aku tertidur di lantai, lelap, gelap, lindap. Seperti bermimpi, seperti bernyanyi, seperti menanti. Tik.Tik.Tik. Bunyi hujan di atas genting. Aku baru tahu bunyi hujan semerdu buaian ibu, memaksaku sangat ingin membuka mata. Hanya ada cahaya. Hujan menatapku, bagaimana aku bisa tahu, tak ada lagi mata kayu padaku.
Hujan menatapku, menatap bayangbayang cahaya. “Terbanglah,” sepertinya hantu cantik berbisik, atau suara ibuku yang berkata, entah. Aku tak melihat hantu cantik datang, pun tak kudengar langkah ibu memasuki kamarku. Aku terbang, tubuhku ringan, aku terbang ke arah cahaya.
Aku mendengar kau memanggilku, menyebut nyebut namaku dengan berbagai nada. Aku berputar, tinggi, mengitari cahaya. Makin dekat, makin hangat, makin terang. “Dia hilang…” Aku mendengarmu. Aku meraih cahaya. Makin hangat, makin dekat, makin terang*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar