by Dian Aza on Tuesday, July 5, 2011 at 1:15am
Arus keemasan bercerita tentang jembatan di mana kau bersandar menunjukkan senja kepadaku yang berbinar.
“Kau tak bahagia jadi istriku.”
Aku tak tahu, apa harus bertempur dulu dengan sepasukan prajurit berseragam kelabu di dalam kepalaku hanya untuk mengatakan satu kebenaran padamu. Jumlahnya tak terhitung, prajurit prajurit berseragam kelabu dalam kepalaku menghunus pedang, menodongkan senapan, ke jantung perempuan yang sedang membenamkan kepalanya jauh ke rongga waktu.
Aku perlu perisai tebal untuk menjagamu dari serangan para prajurit kelabu di dalam kepalaku. Jika aku terbunuh, bacalah senja pada lukaku, sayat atau lubang sempurna menyampaikan pesan, Perempuan tak pandai menggerakkan bibir dan lidah untuk bicara tentang wangi tubuh, hangat mata atau lapang dada yang erat mendekap sambil mengayunkan rupa rupa senjata.
Senja menenggelamkan tubuhnya, cemerlang dan berdendang sepanjang aliran ke arah muara. Kau dengar lagunya, setenang kauhela udara*
“Kau tak bahagia jadi istriku.”
Aku tak tahu, apa harus bertempur dulu dengan sepasukan prajurit berseragam kelabu di dalam kepalaku hanya untuk mengatakan satu kebenaran padamu. Jumlahnya tak terhitung, prajurit prajurit berseragam kelabu dalam kepalaku menghunus pedang, menodongkan senapan, ke jantung perempuan yang sedang membenamkan kepalanya jauh ke rongga waktu.
Aku perlu perisai tebal untuk menjagamu dari serangan para prajurit kelabu di dalam kepalaku. Jika aku terbunuh, bacalah senja pada lukaku, sayat atau lubang sempurna menyampaikan pesan, Perempuan tak pandai menggerakkan bibir dan lidah untuk bicara tentang wangi tubuh, hangat mata atau lapang dada yang erat mendekap sambil mengayunkan rupa rupa senjata.
Senja menenggelamkan tubuhnya, cemerlang dan berdendang sepanjang aliran ke arah muara. Kau dengar lagunya, setenang kauhela udara*
cinta ini seperti...
BalasHapus