by Dian Aza on Friday, July 15, 2011 at 2:57am
Begitulah, ini semua permainan, segenap alam semesta. Tak ada yang nyata. Semua mahluk boleh berangan angan lalu membual apa saja tentang segala hal. Lelaki itu mendecakkan lidahnya, menatap angkasa, hanya satu hal yang sepertinya serius dan tak pernah lekang dari benaknya, lolongan pilu anjing berbulu putih kesayangannya yang telah tiada. Lelaki itu tak pernah mendengar lolongan itu dengan telinganya, logis sekali, telinga mengarah ke arah luar kepala, sedangkan lolongan itu berasal dari dalam kepalanya sendiri.
Anjing betina manis berbulu putih, ayahnya berkata namanya cleo, kependekan dari cleopatra. Hadiah ulang tahunnya yang ke tujuh. Seperti dirinya sendiri sejak kecil cleo harus berpisah dengan induknya, untuk diberikan kepada seorang anak lelaki kecil yang terpisah dari ayahnya. Mungkin ayahnya sengaja menghadiahkan anak anjing agar dia berpikir bahwa anak lelaki kecil yang terpisah dari ayahnya seharusnya lebih tegar dibanding anjing anakan betina yang terpisah dari induknya. Ibunya tak pernah mengatakan apapun tentang hadiah ulang tahun yang istimewa dan bernyawa itu, hanya matanya bersinar bahagia tiap kali mereka bermain bertiga, anak lelaki, anjing kecil dan seorang perempuan sederhana.
Masih bisa diingatnya betapa lembut dan harum bulu bulu anak anjing itu, ibunya memandikannya dengan shampo yang sama dengan yang dipakainya sendiri. Memberikan minuman dan makanan sama lezat antara anak lelakinya dan anak anjing betina pemberian mantan suaminya. Lelaki itu benci warna putih pada bulan, tapi tak bisa berhenti memandang, seperti dia benci lolongan anjing dalam kepalanya tanpa bisa berhenti mendengar. Kalau saja lolongan itu berasal dari luar telinganya pasti mudah dienyahkan, tinggal menyumpal telinga. Sialnya, lelaki itu tak tahu bagaimana caranya menyumpal telinga dari dalam.
Lagu lagu pujian terdengar sangat parau, tanpa sengaja baru saja didengarnya barusan, dalam perjalanan pulang. Membuat dadanya sesak dan panas, dia harus mencari sesuatu yang lebih dahsyat dari air untuk menyejukkan dadanya. Lelaki itu merasa dia tak boleh sampai meninggal gara gara sesak nafas seperti ibunya setahun silam. Tak ada yang tahu apa sakit yang diderita ibunya, mungkin jantung, mungkin asma, apapun sakitnya, tak ada dokter yang pernah dikunjungi apalagi mengunjungi, alangkah merdeka dan bahagia penyakit berdiam di dada ibunya. Dia hanya ingat ibunya pertama kali sesak nafas dan nyeri dadanya ketika dia pulang dengan lengan baju berluruman darah dan mata nanar kemerahan.
Anak anjing betina tumbuh secepat dan sesehat anak lelaki kecil, membuat ibunya kerap tertawa menatap keduanya sedang berkejaran di halaman rumah yang sempit. Bapa pendeta dan istrinya yang secara rutin berkunjung ke rumah kecil itu selalu mengatakan kekaguman penuh kehangatan untuk anak anjing dan lelaki kecil, membuat ibunya semakin bangga dan bernafas lega sehabis kunjungan yang selalu meninggalkan beberapa buah tangan, panganan dan buku buku yang akan dinikmati bersama seisi rumah. Mereka hanya bertiga dan bahagia, ibu juga selalu berkata, jangan lupa mendoakan ayah dan adik adikmu, di hari minggu dalam perjalanan menuju gereja.
Lelaki itu hanya sekali melihat kedua adiknya di rumah besar, ketika ayahnya menjemputnya untuk menghadiri pesta ulang tahun salah satu adiknya, yang bungsu, bayi lelaki, baru setahun usianya. Rumah megah, kue ulang tahun penuh hiasan, balon warna warni, banyak makanan lezat dan sirup berwarna cerah, sangat menyenangkan andai saja perempuan yang menjadi ibu adiknya adalah ibunya sendiri, yang menyambutnya dengan gembira ketika dia pulang tapi sama sekali seperti tak berminat mendengar ceritanya tentang pesta meriah adiknya. Dua bulan kemudian ayahnya menepati janjinya, memberinya hadiah anak anjing di hari ulang tahunnya. Rupanya ayah memperhatikan anak lelakinya yang sangat tertarik dan hanya bermain main akrab dengan anjing anjing di rumah besarnya selama pesta.
Kenapa orang orang yang tinggal di rumah besar selalu menginginkan miliknya, anak lelaki itu sangat marah teringat penghuni rumah besar yang mengambil ayahnya, bapa pendeta yang meminta anjing betinanya. Cleo sangat lucu, setia, sangat menyayanginya dan disayanginya.
Sore itu hujan turun, bapa pendeta dan istrinya kembali berkunjung membawa aneka buah tangan, kali ini ada tambahan baju dan sepatu baru sebagai hadiah natal yang diberikan sebulan lebih awal. Ibunya hanya tergagap ketika dengan suara trenyuh, bapa pendeta dan istrinya bergantian menceritakan anak mereka yang bungsu, lelaki pula, masih empat tahun usianya sudah seminggu terbaring sakit.
“Sejak ikut berkunjung kemari, Jason tak berhenti merengek meminta anjing. Kami sudah belikan, tapi dia tak suka, dia inginkan anjing ini. Kami sudah jelaskan kalau tak boleh mengambil cleo, kakak pemiliknya tentu sangat menyayanginya dan akan sedih kalau cleo diambil, tapi dia tak mau mengerti. Besoknya badannya mulai panas, sampai hari ini tak turun juga, sudah kami beri macam macam obat, sudah pula kami bawa ke dokter, tak ada hasil.” Istri pendeta bicara dengan suara halus dan mata berkaca kaca.
Tengkuknya mendadak terasa terbakar ketika ibunya memeluknya dan berkata,”Tak apa apa kan kalau cleo diberikan pada Jason, kasihan dia masih kecil dan sedang sakit, mungkin cleo bisa bikin dia senang dan sembuh.”
“Oh, tak usah, jangan, jangan sampai merepotkan. Biar saja, namanya juga anak anak, dia memang begitu, kalau keinginannya tak dituruti jadi sakit, waktu itu sempat kejang gara gara minta mobil mobilan yang ada remotenya.”
Tentu saja tuhan lebih mendengar doa seorang anak pendeta dari pada doanya. Lelaki itu tak ingin mengingat bagaimana bapa pendeta dan istrinya akhirnya membawa cleo pergi dari rumah kecilnya.
“Datanglah ke rumah kami kapan saja kau kangen padanya.” Entah kenapa suara hangat bapa pendeta terdengar bengis di telinga anak lelaki itu. Usianya baru sembilan tahun, di tahun itulah seekor anjing mulai melolong di dalam kepalanya.
Natal sudah lewat, tak ada yang menyenangkan, bahkan ibunya tak bisa lagi menatapnya sambil tertawa bahagia ketika melihatnya mengenakan baju dan sepatu baru hadiah natalnya. Bapa pendeta tak memberi kotbah di gereja pada hari natal, kabarnya sedang berlibur ke tempat asalnya di luar kota, padahal ibu berniat mengajak anak lelaki mampir ke rumah besar bapa pendeta untuk melepas kangen pada mantan anjing betina mereka, sekalian mengucapkan selamat natal tentunya.
Sehari sebelum tahun baru, anak lelaki itu tak mampu membendung rindunya pada mantan anjingnya. Diam diam dia mengayuh sendiri sepeda kecilnya ke rumah pendeta. Rumah besar nampak sepi, mungkin bapa pendeta sekeluarga belum pulang dari liburan, tapi siapa tahu anjingnya tak diajak serta ke luar kota. Lelaki kecil menyenderkan sepedanya pada pagar besi, melongokkan kepalanya berkali kali ke dalam lewat celah pagar meski tak bisa melihat apapun selain rumah cantik berdinding putih, dengan daun pintu kayu kokoh berwarna coklat berukir indah yang tertutup rapat.
“Cari siapa nak ?” Sapaan ibu setengah baya dari rumah di sebelah rumah bapa pendeta mengejutkan anak lelaki.
“Tak ada siapa siapa di dalam. Semua sedang pergi.” Ibu itu berkata lagi dengan suara ramah.
“Kapan datangnya ?” Anak lelaki itu berani bertanya melihat mata ibu setengah baya bersinar ramah.
“Mungkin dua hari lagi, mau ketemu pak Bernard, atau anaknya. Kamu belum pernah datang ke sini ya.”
“Tidak…hmm, apa anjingnya juga di ajak pergi ?”
“Anjing ?” Ibu setengah baya mengernyitkan kening.“Tak ada anjing di rumah itu.”
Anak lelaki itu mulai merasa tak enak, mulai merasa harus tahu tentang sesuatu. “Ada bu, anjing putih, baru saja diambil…” Kalimatnya mulai tak tersusun dengan baik.
“Ohh iya. Iya. Anjing putih yang itu, bulunya lebat, kira kira sebulan yang lalu, ibu hampir lupa, maklum sudah tua.”
“Iya. Apa anjingnya ikut pergi ?”
“Loh, anjing putih itu ya sudah disate too nak, seperti biasanya, begitu dapat, besoknya langsung disembelih.”
Sedetik kemudian seekor anjing mulai melolong di dalam kepalanya. Anak lelaki meninggalkan ibu setengah baya yang ramah itu begitu saja. Mengayuh sepeda dengan telinga penuh suara lolongan anjing menyebabkan anak lelaki itu nyaris tertabrak motor, terjatuh dari sepeda. Lolongan anjing tak juga berhenti, anak lelaki itu tak mendengar makian pengendara motor atau teriakan khawatir orang orang yang melihat darah mengalir pada lengan bajunya.
Sesampainya di rumah ibunya yang karena naluri keibuannya sudah merasa cemas sesari tadi menunggunya sangat terkejut dan panik melihat wajah dan lengannya berdarah. Itulah pertama kalinya ibunya menjerit hingga dadanya serasa pecah. Beberapa tetangga datang membantu, dia hanya terdiam ketika orang orang bertanya. Setelah reda sakit di dada ibunya, perempuan itu memeluknya yang mendadak menggigil demam.
“Dia mati bu…dia sudah mati, ibu jahat.”
Ibunya menangis ketakutan sambil tak berhenti bertanya. Kalau saja saat itu anak lelaki itu lebih dewasa, tentu dia akan lebih tabah dan tak gegabah menyalahkan ibunya atas kematian mantan anjing betinanya.
Pada malam harinya anak lelaki itu baru bisa menceritakan dengan kacau apa yang terjadi siang tadi. Malam tahun baru itu adalah malam tahun baru terburuk sepanjang hidupnya, mungkin juga sepenjang hidup ibunya. Mereka menangis bersama hingga tahun berganti.
Tak ada lagi hari minggu ceria, tak ada lagi lagu lagu pujian dan bacaan alkitab, tak ada kunjungan bapa pendeta dan istrinya membawakan buah tangan. Anak lelaki itu tak tahu bagaimana semua mendadak berhenti dan hilang, dia juga tak bisa peduli, hanya ada lolongan anjing di dalam kepalanya. Suara ibunya adalah satu satunya yang bisa meredakan bising di dalam telinganya. Suatu hari seseorang pernah datang mengantar bingkisan, mungkin dari bapa pendeta atau mantan teman teman lama jemaat gereja, ibunya melemparkan bingkisan itu ke pengirimnya sebelum membanting pintu.
Lelaki itu tersenyum sendiri ketika lolongan anjing semakin nyaring terdengar, begitulah selalu jika dia memandang bulan bersinar terang. Digenggamnya sebotol berisi cairan sejernih air yang mulai jadi sahabat dekatnya, sebagai pengganti suara ibunya menyejukkan dadanya. Lelaki itu menyeringai tidak kepada siapa siapa. Mungkin begitulah dulu awalnya bumi, serupa bulan, hanya sebuah benda besar kelabu, tak rata, berlubang, berkabut, gelap dan hampa. Tiba tiba dia merasa ingin melolong bersama anjing di dalam kepalanya. Ahh, lelaki itu tersenyum lagi pada imajinasinya sendiri, menjadi manusia serigala, melolong bersama anjing dalam kepalanya, mencari mangsa, menerkam lalu memakan mentah mentah. Seisi dunia hanya main main, tapi mantan anjingnya sungguh sungguh telah dimakan manusia. Bulan berpendar menatapnya dari kejauhan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar