by Dian Aza on Monday, July 4, 2011 at 7:41am
Dua boneka kayu di ujung pensil setiap malam bercelotah. Cerita tantang harum akar wangi di hutan tersembunyi. Serupa apa dahannya tak pernah kutahu. Mungkin tanah di sana butirannya sangat lembut, hujan yang jatuh begitu ringan dan halus tak menyentuh permukaan tanah. Hingga akar akar tanaman tumbuh bersih tanpa jejak lumpur mengotori. Hujan salju sehangat bedak bayi dalam ingatan erat memeluk pagi sehabis mandi.
Anak kecil akan tumbuh besar pada masanya, kukatakan dengan berat hari. Berat hati ingin mengurung binatang binatang yang berlari kencang menuruni lereng bukit berumput tebal, berpohon rapat, beradu cepat dengan sepeda kayu. Dua boneka kayu menatapku, seolah berkata, rautlah pensilnya, agar bisa kulukisi kertasmu, gambar kota yang selalu meriah petasan dan derap kaki kuda. Tak perlu memendekkan jarak mata air dan matahari, kataku pada sepeda kayu. Biar awan selalu berparas riang mengintip hutan*
Anak kecil akan tumbuh besar pada masanya, kukatakan dengan berat hari. Berat hati ingin mengurung binatang binatang yang berlari kencang menuruni lereng bukit berumput tebal, berpohon rapat, beradu cepat dengan sepeda kayu. Dua boneka kayu menatapku, seolah berkata, rautlah pensilnya, agar bisa kulukisi kertasmu, gambar kota yang selalu meriah petasan dan derap kaki kuda. Tak perlu memendekkan jarak mata air dan matahari, kataku pada sepeda kayu. Biar awan selalu berparas riang mengintip hutan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar