Minggu, 31 Juli 2011

implisit

by Dian Aza on Wednesday, July 20, 2011 at 1:25am
Sebaiknya kau jalan kaki ketika hendak menjumpaiku. Tak usah terburu buru. Memang jauh, kalau dekat akan kuminta kaulari saja.

Tak sulitkan kalau kuminta kaubawakan sebutir batu. Batu apa saja, asal jangan batu bata. Batu bata tak tahan lama, bisa hancur kembali menjadi tanah seperti semula wujudnya. Tak perlu besar, tak perlu istimewa. Semakin kecil, semakin mudah dibawa dan disimpan, tak merepotkan untuk orang tak pedulian dan malas macam kau dan aku.

Jangan batu berharga, kau bisa mati kelaparan kalau kauhabiskan uangmu untuk membeli permata. Kemudian aku mati penasaran mempertanyakan harga, cerita lama sangat menyedihkan juga membosankan.

Itu saja, jalan kaki sambil menggenggam sebutir batu biasa. Kau bisa datang menemuiku menunggumu di bawah pohon rindang pertama yang kautemukan dalam perjalanan.

Jangan ragu, jika kautemukan sebuah pohon yang tegar dan perkasa menghentikan langkahmu, memaksamu menepi sejenak, duduk bersandar pada kekar dahannya, merasa teduh di bawah rimbun ranting dan daunnya, terhibur belaian angin dan nyanyian burung yang berkejaran di rantingnya.

Di situlah, tenangkan dulu debar jantungmu, atur nafasmu, lemaskan otot ototmu. Acuhkan saja waktu biar menunggu selama kaumau. Tepat ketika kau mulai merasa nyaman rebahan, memejamkan mata, saat itu aku pasti siap datang.
Mengejutkanmu dengan sebutir peluru, kulontarkan kuat kuat tepat di keningmu dari tempat persembunyianku di balik kemejamu.

Segera kemudian kau merasa segalanya begitu menyenangkan dan sempurna. Kau dan aku ditakdirkan bersama selamanya. Sebutir batu di genggam tanganmu akan setia menjaga rahasia kita. Sekarang kau mengerti, batu menjadi saksi kita saling menepati janji, bukan pengkhianat atau pengecut yang sedang berpesta merayakan kemenangan lawan.

Saling memiliki selamanya, tubuhku berkilau, labirin di dalam kepalamu alangkah rumit dan asyik*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar