Sabtu, 02 Juli 2011

pengantar

by Dian Aza on Thursday, June 23, 2011 at 5:13pm
Sehari setelah kautinggal pergi, aku berdiri di persimpangan jalan lebih lama dari biasanya. Lampu merah padam, hijau menyala. Mobil, motor, becak dan sepeda melaju, menembus perutku. Tidak ada yang robek atau bolong, bajuku juga masih utuh. Aku juga tidak terjatuh, tak terhuyung sedikitpun. Aku mulai cemas, ada yang aneh denganku, seharusnya aku tertabrak lalu mati, setidaknya terbaring dengan usus terburai di tengah jalan. Seharusnya kendaraan dan manusia berhenti, menjerit, mendekatiku sambil mendekap wajah, berkerumun dan melongokkan kepala memandangku yang berantakan. Apakah sudah tak ada yang peduli di bumi ini, sembab sekali kudengar bisikan dari bibirku.

Seorang anak perempuan mendekat, menggandeng tanganku ke tepi jalan. Akhirnya ada juga yang memperhatikan, kutarik nafas lega. Belum sempat kukatakan sepatah kata anak perempuan berlari, hilang dari pandangan. Mobil dan motor berderit keras, suara benturan, teriakan, manusia manusia berhamburan ke tengah jalan, berkerumun sambil melongokkan wajah ke arah tubuh anak perempuan yang berantakan.

“Tidak sulit kan?” Seorang asing, lelaki setengah baya menyentuh bahuku, bertanya.

“Apanya ?” Sungguh, aku tak mengerti.

“Pekerjaan barumu, kematian selalu menarik perhatian.”

“Tapi, aku tidak mati, mungkin tak bisa mati.” Seandainya bisa kukatakan betapa inginku.

“Kau sepertinya sedih, aku dulu juga begitu waktu masih baru.”

“Baru apa.”

“Baru jadi kurir.”

“Kurir ?” Aku semakin tak mengerti.

“Hei…cepat selesaikan kerjamu, antarkan segera dia ke tempat semestinya.”

Aku merasa lengan bajuku ditarik pelan. Anak perempuan mendongak memandang wajahku, seperti menunggu sesuatu. Melihatku kebingungan anak perempuan tersenyum dan berkata,”Ayo aku sudah kangen ibuku.”

Orang asing memandangku hangat,”Kau akan tahu jalannya.” Lelaki setengah baya itu mengangguk juga tersenyum.

Anak perempuan kembali menggandeng tanganku. Kami berjalan meninggalkan jalanan yang kian bertambah terang dan gaduh. “Kau malaikat pencabut nyawa paling tampan yang pernah kulihat.”

Aku terpana, ternyata anak perempuan itu lebih besar dari yang semula kuingat menggandeng tanganku di tengah jalan tadi. Matanya mengedip sebelah, seolah menggoda,”Tak apa. Aku sudah mati berkali kali. Bunuh diri.” Tangannya kian erat menggenggam, tanpa ragu membawaku melangkah ke arah jalanan di depan kami yang lebih gelap dan lengang*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar