Minggu, 03 Juli 2011

cinta itu seperti...

by Dian Aza on Thursday, June 30, 2011 at 7:32am
Malam ini tak ada yang tidur, tak ingin kuacuhkan mimpi saat jadi nyata barang sejenak. Menggenggam tanganmu berjalan di sampingmu. Mendadak kuingin makan permen, kau mengajakku ke swalayan yang buka dua puluh empat jam.

Jalanan lengang dan remang penuh aroma lembab udara, sepertinya embun akan segera gugur. Rambutmu nampak seksi di bawah sorot lampu merkuri, berayun ayun di wajahku, menggelitik pipi dan hidung, pinggangmu kepeluk erat. Tidak jauh, tak cukup lama kusandarkan dadaku di pundakmu.

Tak ada pembeli selain kau dan aku. Tentu hanya sepasang manusia yang sedang saling tergila gila rela keluar jam setengah empat pagi cuma karena pasangannya ingin membeli permen. Kau dan aku sama sama tahu cinta bisa membuat semua hal jadi masuk akal.

Berjalan jalan di antara rak barang barang juga jadi setara nikmatnya dengan bersampan di sungai saine. Aku mengerti kau merasa menjadi raja seluruh dunia, terutama karena akulah permaisurinya. Ini memang memuakkan dan kampungan, tapi tak ada yang bisa melarang. Saat saat ini waktu seperti sedang tidur kelelahan mengikuti detak jantung.

Kau mulai bicara ketika melewati rak buah,“Cinta itu seperti durian…”

“Berduri di luar, hangat dan lembut di dalam.”

“Ada musimnya.”

“Ohh…”

“Cinta itu seperti semangka…”

“Merah dan segar.”

“Ada yang berbiji dan tidak.”

“Hmm…”

“Cinta itu seperti mangga…”

“Ada yang manis dan asam.”

“Cuma rasa yang kaupikirkan, payah…”

“Lah, habisnya cinta disamakan buah. Kenapa mangganya…”

“Lebih sedap kalau masak di pohon.”

“Haaa…” Kau tiba tiba jadi kelihatan sangat jenaka, matamu mengerling jahil waktu kubilang,”Yang lain, jangan buah terus.”

“Cinta itu seperti cabe…”

“Pedas…hmm, bikin kehausan juga ketagihan.”

“Nah, lagi lagi cuma rasa, tak bisa mikir yang lain selain dimakan.”

“Apa ?”

“Cinta itu seperti cabe, baru terasa sesudah hancur dikunyah.”

“Wah…”

“Hahaha…” Kau tertawa merasa menang. “Permen apa nih…”

“Permen kiss.”

“Kenapa ?”

“Enak aja, namanya juga romantis.”

“Hhh…tidak inovatif!” Nada bicara dan ekspresi wajahmu sungguh menyebalkan.

“Jadi permen apa coba ?”

Matamu mencari cari sebentar kemudian kauambil sebungkus permen sugus, kauulurkan padaku. Kupandangi sebungkus permen sugus dengan bingung.

“Apanya yang inovatif, permen jadul nih.”

“Cinta lebih jadul. Ini paling pas. Cinta itu seperti permen sugus…”

“Aghh…taulah.”

“Ya, apa coba ?”

“Jadul, tak ada matinya, empuk, banyak yang suka…”

“Cinta itu seperti permen sugus, dibaca dari depan atau belakang tetap sugus.”

“Ahh…” Kucubit lenganmu keras, kau tak sempat berkelit. Cuma meringis sambil mengaduh lirih.

Sampai di depan kasir kau masih mengulum senyum kemenangan, semakin manis. Karena dongkol, kupeluk kau lebih erat dalam perjalanan pulang*

1 komentar:

  1. tinggal menaruh tulisan 'bersambung' pada sudut kanan bawah layar kaca. scene berikutnya masih menunggu naskah. ini episode kejar tayang saat di puncak rating.

    BalasHapus