by Dian Aza on Sunday, July 10, 2011 at 1:33am
Menangis itu sulit. Orang gila jarang jarang menunjukkan kegilaannya dengan menangis. Tertawa jauh lebih mudah, cukup dengan tertawa tawa sendiri orang orang yang memandang akan percaya dan mau menerima bahwa dia gila. Tak perlu sebab dan alasan, yang terbaik tentu saja tak akan ada yang bertanya. Berbeda sekali dengan menangis. Melihat seseorang menangis, atau cukup mendengar suaranya saja, meski hanya isakan kecil, sesenggukan sedang atau raungan pilu, orang orang segera menjadi ingin tahu, merasa berkepentingan untuk bertanya kenapa, ada apa, karena apa.
Sebenarnya tak apa apa dipedulikan sesama manusia, itu juga hak mereka, hanya tak nyaman saja mengingat orang orang lebih tertarik pada kesedihan. Lagipula tak mungkin berhenti menangis sejenak untuk menjawab pertanyaan yang terpancar dari mata atau terucap bibir orang orang tak dikenal, lebih deras dari pada air mata yang bercucuran. Rasa ingin tahu juga bikin air mata semakin terasa panas, alirannya serasa membakar sudut mata dan pipi yang basah. Membakar yang sudah basah, alangkah bertambah susahnya, alangkah memberatkan langkah, seolah dikejar waktu tapi tak mampu berjalan cepat. Lutut terasa lemas, tungkai patah. Rasa sakit biasanya menyebabkan air mata terus mengalir. Tangisan tak bisa reda.
Begitulah awalnya, air mata. Ketika dia masih waras air mata bercucuran karena sebab dan alasan yang jelas. Sedu sedan dan wajah berkilau basah mengundang orang orang mendekat melontarkan tanya. Tanya hanya ingin jawab, jawab hanya mau benar. Tak ada satupun di antara manusia ingin tahu memahami, berkenan maklum pada kecengengannya tanpa repot repot mencari jawaban untuk membenarkan tangisannya.
Nafasnya sesak, seketika dia tersengal sengal, seperti tersedak, dan seakan terjaga dari mimpi buruk paling kacau. Tangisnya reda, berhenti begitu saja. Tak ada lagi isakkan, tak ada sedu sedan atau raungan. Dia mengusap mata dan wajahnya lalu menatap satu persatu pasang mata yang memandangnya menunggu penjelasannya. Dadanya bergerak naik turun tanpa suara. Tatapannya terlihat jauh melampaui jarak antara pertanyaan dan jawaban. Nampaknya dia mulai mengerti orang orang memang tak memahami. Jika paham tentu sudah tahu, maka tak ingin tahu, jadi tak perlu bertanya lagi. Dia merasa sungguh sungguh tahu tentang yang orang lain tidak tahu. Menyadari semua kenyataan itu membuatnya senang, menyumbat air matanya, menghentikan tangisnya. Tiba tiba di merasa sangat ingin tertawa.
Dia terus tertawa, pasti lebih mudah pula baginya. Aku tak lagi peduli, tak ingin tahu kenapa dia selalu tertawa. Kutenangkan diriku dengan prasangka, paling paling dia sedang gembira. Kemungkinan lain lebih imajinatif, dia kehabisan air mata. Aku suka memandangi wajahnya, buram tapi teduh macam langit malam yang jernih. Tawa di bibirnya melengkung terang serupa bulan sabit, tajam bersinar.
Bulan sabit itu tiba tiba mendekat, menatapku tajam sambil mengulurkan tangan, suaranya tegas membuatku terjaga dari lamunan,"Razia.Tunjukkan SIM anda !"
Aku masih tergagap ketika dia melanjutkan kalimatnya,"Cepat, cepat, SIM ! Awas, tak punya SIM masuk penjara."
"SIM ?" Suaraku terdengar tolol.
"Iya. SIM, surat ijin menangis. Cepat !" Dia membentakku sangat keras, kemudian tertawa terbahak bahak*
Sebenarnya tak apa apa dipedulikan sesama manusia, itu juga hak mereka, hanya tak nyaman saja mengingat orang orang lebih tertarik pada kesedihan. Lagipula tak mungkin berhenti menangis sejenak untuk menjawab pertanyaan yang terpancar dari mata atau terucap bibir orang orang tak dikenal, lebih deras dari pada air mata yang bercucuran. Rasa ingin tahu juga bikin air mata semakin terasa panas, alirannya serasa membakar sudut mata dan pipi yang basah. Membakar yang sudah basah, alangkah bertambah susahnya, alangkah memberatkan langkah, seolah dikejar waktu tapi tak mampu berjalan cepat. Lutut terasa lemas, tungkai patah. Rasa sakit biasanya menyebabkan air mata terus mengalir. Tangisan tak bisa reda.
Begitulah awalnya, air mata. Ketika dia masih waras air mata bercucuran karena sebab dan alasan yang jelas. Sedu sedan dan wajah berkilau basah mengundang orang orang mendekat melontarkan tanya. Tanya hanya ingin jawab, jawab hanya mau benar. Tak ada satupun di antara manusia ingin tahu memahami, berkenan maklum pada kecengengannya tanpa repot repot mencari jawaban untuk membenarkan tangisannya.
Nafasnya sesak, seketika dia tersengal sengal, seperti tersedak, dan seakan terjaga dari mimpi buruk paling kacau. Tangisnya reda, berhenti begitu saja. Tak ada lagi isakkan, tak ada sedu sedan atau raungan. Dia mengusap mata dan wajahnya lalu menatap satu persatu pasang mata yang memandangnya menunggu penjelasannya. Dadanya bergerak naik turun tanpa suara. Tatapannya terlihat jauh melampaui jarak antara pertanyaan dan jawaban. Nampaknya dia mulai mengerti orang orang memang tak memahami. Jika paham tentu sudah tahu, maka tak ingin tahu, jadi tak perlu bertanya lagi. Dia merasa sungguh sungguh tahu tentang yang orang lain tidak tahu. Menyadari semua kenyataan itu membuatnya senang, menyumbat air matanya, menghentikan tangisnya. Tiba tiba di merasa sangat ingin tertawa.
Dia terus tertawa, pasti lebih mudah pula baginya. Aku tak lagi peduli, tak ingin tahu kenapa dia selalu tertawa. Kutenangkan diriku dengan prasangka, paling paling dia sedang gembira. Kemungkinan lain lebih imajinatif, dia kehabisan air mata. Aku suka memandangi wajahnya, buram tapi teduh macam langit malam yang jernih. Tawa di bibirnya melengkung terang serupa bulan sabit, tajam bersinar.
Bulan sabit itu tiba tiba mendekat, menatapku tajam sambil mengulurkan tangan, suaranya tegas membuatku terjaga dari lamunan,"Razia.Tunjukkan SIM anda !"
Aku masih tergagap ketika dia melanjutkan kalimatnya,"Cepat, cepat, SIM ! Awas, tak punya SIM masuk penjara."
"SIM ?" Suaraku terdengar tolol.
"Iya. SIM, surat ijin menangis. Cepat !" Dia membentakku sangat keras, kemudian tertawa terbahak bahak*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar