Sabtu, 02 Juli 2011

suara cacing

by Dian Aza on Monday, June 27, 2011 at 7:23am
Pengetahuan membuatku bodoh atau murtad, bahkan keduanya sekaligus, masih pula ditambah kejam dan bebal. Kau tertawa, mungkin tak percaya. Lalu kita duduk berhadapan membuat coretan morat marit tentang jalan simpang siur menuju kolam. Kautemukan jejak jejak kerucut kecil di tanah, di sebuah pojokan lapangan di belakang pasar, kulingkari tanah dengan batang lidi, kerucut semakin membesar, kutunggu undur undur keluar, apakah dia kesal kukacaukan rumahnya, mungkin undur undur sudah punah sekarang dan pasar menjalar luas sampai ke belakang lapangan

Kenapa di pasar. Karena banyak orang memperhatikan, itulah gunanya pasar, saling berteriak, saling menawar, saling menukar, saling memenuhi kebutuhan, saling menyenangkan. Apa kau lebih suka aku menipumu dengan kata kata, jangan pedulikan, sambil mengasah pisau yang kusiapkan untuk menggorok leherku sendiri. Kau mungkin tak tahu pasti seberapa besar aku punya nyali, seberapa inginku membuka mata ketika kau datang tengah malam ke depan tidurku memamerkan mimpi, ingin sekali kuteriak, habiskan sebelum pagi.

Pasar sudah kehilangan lapangan di belakangnya, tak ada lagi tanah tanah berjejak kerucut yang membuatmu takjub saat kusebut rumah undur undur. Yang tersisa cuma sepetak tanah becek berlumpur, berbau busuk, dipenuhi sisa sisa segala yang tak menemukan tawaran baik, tak mampu menyenangkan siapapun di pasar, kecuali cacing. Ada banyak cacing di situ, kita bisa mencongkel tanah lembab dengan sebatang besi, mengeruk bergumpal cacing tanah, mereka semua nampak sehat dan bahagia, menggeliat, menari nari. Aku senang mereka tak bersuara.

Satu putaran penuh jarum panjang pada jam tanganmu yang hilang.

Cacing adalah satu satunya binatang yang mahir menari tanpa diiringi bunyi, tubuhnya licin dan dingin, kemerahan dan liat. Ketika mata kail menembus tubuh cacing semakin liar liukannya. Kuamati tarian cacing melingkar sempurna tubuhnya, mengejang, memanjang, kembali melingkar, masih terlihat meski kupejamkan mata rapat rapat, membuatku bergidik..

Siang teramat terik. Sungguh masuk akal jika lelaki di sebelahku terus terusan resah dengan kerah bajunya. Katamu dia buaya. Kubilang mirip cacing geraknya andai saja badannya tidak besar dan kekar, tentu lelaki besar kegerahan, dia bukan cacing yang tubuhnya selalu dingin. Sungguh menarik melihat orang lain gelisah. Biar tahu rasa, kataku tanpa suara, semoga dia  ingat neraka jauh lebih menyiksa dibanding tepian kolam jam dua siang.

Hanya dua batang bambu panjang ditaruh sejajar di atas pasak pasak kayu rendah sebagai tempat duduk di situ, orang orang berdekatan, beberapa malah saling merapat, tak bisa kubayangkan betapa memuakkan rasanya, seperti lelaki besar di sebelahku yang sering merapatkan badannya kepada perempuan di sebelahnya. Memiringkan kepala dan dadanya ke lengan dan dada perempuan berambut panjang yang tak berhenti tertawa renyah. Perempuan di sebalah kiri lelaki besar di sebelah kananku berambut sangat panjang, terikat di pangkal lehernya, ujung bagian bawah rambutnya bergetar pada pantatnya yang bercelana ketat seiring tawanya. Perempuan itu cantik, dada dan pinggulnya melengkung serupa lekukan pada tarian cacing. Mungkin aku iri padanya hingga merasa ingin muntah setiap kali mendengar tawanya. Perempuan berambut panjang mungkin baru saja terkena semprotan gas tertawa.

Tambahan lagi lelaki besar itu tak pakai celana, selalu sibuk bergerak merapikan sarungnya. Sesekali lelaki besar itu berdiri sejenak melemparkan mata kailnya ke tengah kolam, segera perempuan berambut panjang dengan sigap merapikan sarungnya, amit amit, macam baginda raja, aku kembali berkata penuh kedengkian, tanpa suara. Tentu tak baik jika ada yang mendengar kebencianku, walaupun yang kubenci sungguh patut dan layak dibenci.

Lelaki besar itu sungguh layak dan patut dibenci. Kudengar dari suara manusia, kubaca tarian cacing, tentang setiap hal yang dikerjakan lelaki besar. Menurut ukuran standar manusia, lelaki besar sangat payah, dia tukang gendam, punya banyak anak buah, penghasilannya dari memperdaya orang orang dungu sudah pasti sangat melimpah. Meski lelaki besar kerap meyakinkan bahwa korbannya hanya yang benar benar kaya dan dungu, sama pantas dibenci macam dirinya, menipu tetaplah dosa, kejahatan, ada bab dan pasal tertentu yang memberitahu tentang unsur unsur kejahatan pada tindakan penipuan. Berulang kali lelaki besar menghitung setumpuk tebal uangnya di hadapan sekumpulan cacing yang menggeliat di dalam plastik.

Ketika lelaki besar itu akhirnya melepaskan bajunya, aku semakin suntuk. Betapa malangnya, hampir satu jam menderita, belum kudapat giliran tertawa barang sebentar. Sedang perempuan di sebelah sana seakan akan punya terlalu banyak sebab untuk tertawa dalam setiap menit. Dunia memang tidak adil. Hanya satu dua ekor cacing yang tak mati sia sia, jadi umpan di mulut ikan, jadi pahlawan tanpa tanda jasa bagi satu dua orang yang gembira mendapat tangkapan.

Masih ada tambahan lagi yang kudengar untuk membenarkanku bersungut sungut memikirkan alangkah buruknya dunia, alangkah tidak becus yang mengaturnya. Perempuan berambut panjang itu istri ketiga lelaki besar. Istri keempatnya yang lebih bagus lengkung dada dan pinggulnya, lebih manis parasnya, sedikit lebih pendek rambutnya dari istri ketiga, baru tiga minggu yang lalu wajat, overdosis obat terlarang. Seminggu sebelum kematiannya seorang pejabat menawarkan pertukaran kepada lelaki besar, istri keempat ditukar tiga set alat pancing berkelas bikinan jepang.Ahh, bisa jadi kematian istri keempat itu yang membuat perempuan berambut panjang di sebelah lelaki besar tak berhenti tertawa.

Tak seekorpun ikan tersangkut di mata kail lelaki besar yang kini bertelanjang dada. Aku ingin menggorok leherku sendiri melihat lelaki besar dan perempuan berambut panjang kelihatan riang gembira, bermesra sepanjang siang. Saling merapat, mengelus, memegang, menggelitik dan semua saling lain yang membuat kepalaku pening serasa jutaan cacing sedang menari di dalamnya. Aku hampir putus asa menunggu giliran tertawa ketika lelaki besar tiba tiba terjungkal ke arah belakang. Punggung besarnya menyentuh tanah, sarungnya terkembang, kakinya mengangkang lebar. Lelaki besar terjatuh karena terlampau seru bergurau dan tertawa bersama perempuan berambut panjang yang kini tersipu malu.

Sesaat kemudian kudengar gelak tawaku membahana memenuhi udara. Tawa yang merdu dan panjang. Semakin merdu dan panjang saat aku sadar tidak sedang tertawa sendirian. Semua orang di tepi kolam tiba tiba tertawa bersama, terdengar bahagia, kurasa cacing cacing juga tertawa tanpa suara*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar