Selasa, 16 Agustus 2011

untitled


Kulihat jalan panjang, dari celah semak semak cahaya mengintipku, atau aku yang mengintipnya. Tak jadi soal, siapa memandang siapa, mungkin berpandangan lebih menyenangkan kalau bukan dengan selembar benda padat tipis jernih yang cuma mahir menunjukkan diriku sendiri.

Begitulah, akhirnya aku melihat sesuatu, terang, hangat. Sebenarnya selalu, kalau saja aku lebih mempercayai mataku ketika membaca gambar gambar di tembok kota. Anak anak bengal bertangan jahil membuat gambar dan tulisan aneka warna di sana.

Pernah seseorang berkata mencoreti tembok kota adalah tindakan buruk, vandalis namanya, merusak eksistensi keindahan. Lantas apa namanya tembok kota ? Tembok tembok itulah perusak pertama. Kalau ada yang iseng ingin menggambar, menulis, dan memberi warna hanyalah efek samping dari sekat dan ruang. Jadi aku bisa memandang sesuatu yang menimbulkan rasa ingin tahu.

Tak ada satu manusiapun melakukan sesuatu tanpa tujuan, sadar tak sadar, mau tak mau, berbuat adalah sebab sekaligus akibat. Kalau bisa mengatai manusia pencoret tembok, kenapa tak bisa menyalahkan pembuat tembok. Agar bisa dicoret coret sudah pasti sebuah tembok harus lebih dulu berdiri tegak. Ini pemikiran dangkal, dari mana aku tahu tentang kedangkalan kalau aku tak tahu seberapa dalam. Pelik dan ruwet, memang selalu begitu kalau mau menelaah sesuatu. Hahaha…kacau dan sok tahu. Sok tahu mungkin tak sama artinya dengan sungguh tahu. Nah, malah panjang dan tak jelas. Hahaha…suka, aku suka berputar putar, meluncur turun dari tempat tinggi sambil berputar keras.

Jadi memang ada yang kulihat di balik semak semak, cahaya. Tidak istimewa, bukan pula hal baru atau hebat. Abad ini sudah kehabisan kejutan. Tapi bisa melihat saja sudah senang.

Kau tahu kepalaku seringkali lumer macam lahar, tak bisa mengalir keluar. Tidak enak rasanya membawa bawa sesuatu yang menggelegak, terus menerus meletup di dalam tempurung kepala. Apalagi jika tak paham benar apa itu, otak, atau darah, atau getah bening, atau daging, terasa resah. Inilah dunia, kuhibur diriku sendiri dengan kalimat klise. Inilah terlihat dunia.

Kalau sudah melihat, sebaiknya mendekat. Dalil macam apa pula, dari mana dan kenapa, makin tak je;las. Makin jauh bedanya dengan cahaya dari celah ranting yang bikin kepalaku dingin. Dingin dalam makna menyenangkan, seperti es krim.
Mungkin yang menyenangkan pada cahaya dari celah ranting adalah tak pernah semakin dekat. Cahaya, selalu seakan menusuk mata, namun jauh. Menusuk tanpa menyentuh, cahaya ahlinya. Jika bisa disentuh macam cahaya lampu tentu tak terlalu menarik perhatian. Tapi cahaya dari celah semak bukan itu.

Cahaya yang menyusup di celah semak untuk memandangku. Membuatku ingin sekaligus bisa merobohkan seluruh tembok di dunia. Bagusnya ketika kutemukan cahaya dari celah ranting tak kulihat lagi ada sesuatu yang tegak berdiri menghalangi. Tidak ada tipis dan jernih atau besar dan kusam. Semua terhampar, luas, lembut berayun ringan*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar