Adakalanya batas terlalu luas, aku berjalan, melintasi jambatan di antara ruas jemariku sendiri. Sunyi tak lagi malu malu menapaki waktu. Bukan aku, bukan aku yang merawat perdu di halaman rumahmu. Burung burung datang tiap pagi diam diam menaburkan benih. Hujan menyirami, tangisan perempuan dan bayi bayi di perjalanan yang sempat kaucatat.
Tumbuhkan, tumbuhkan belukar dari tangisan atau senyuman sekuntum mawar. Ibu aku masih anakmu yang tak tahu menyimpan sesal. Sebab ada kalanya batas terlalu luas untuk menemukan jalan pulang. Dan kisah kisah terlalu ingin dibaca. Cuaca selalu berganti arah, kehilangan serupa lukisan anak anak di tembok yang tumbuh dari tanah yang sama, tanah yang menumbuhkan pepohonan dan semak semak di pagi buta.
Ibu, kau terlalu pintar menghibur anak anakmu dan hujan tak pernah jengah tercurah di halaman sekolah. Musim tanpa batas terlalu panjang. Aku belajar mengenang serangkaian panjang telur katak, manik manik hitam di getah panjang mirip perhiasan seorang perempuan tersesat. Kota akan segera jatuh cinta pada tunas pohon ketika kubutakan mataku di putaran roda*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar