by Dian Aza on Wednesday, July 27, 2011 at 4:25pm
Aku teringat seseorang berjubah putih berkata, seharusnya tak ada kolam di dunia. Ikan ikan menjadi bangkai sia sia di kolam, mengambang di permukaan menunggu tangan manusia menguburkan kematian.
Tak ada yang tahu di mana ikan ikan besar berusia tua meletakkan jasadnya, hanya satu dua terdampar di pantai, selebihnya mungkin membenamkan diri ke jantung samudra, kucoba menjawab sendiri, aku yang tidak bejubah putih.
Betapa ramainya hidup di balik pintu, mondar mandir membawa kabar gembira, pencerahan, pengharapan, pemahaman. Kepalaku menunduk semakin rendah, kupandangi kakiku menyilang bercelana pendek hitam, sepertinya tersesat di keras dan dinginnya lantai. Di lututku ada selembar surat dari ibu. Seperti mengiba perhatianku, seperti tak peduli seandainya kucampakkan ketika bangkit berdiri.
Siang selalu terang dan panjang, tidak menggetarkan, tapi aku sedang rindu membaca sesuatu. Sebenarnya bukan surat ibu. Sebenarnya aku tak tahu. Aku teringat tentang semangkok air putih, jernih dan sejuk yang terbagi. Hanya tentang semangkok air putih yang kubagi denganmu setiap hari, lalu kita mencoba bicara tentang siang dan malam yang terpisah. Tapi kau selalu di sini, sepertiku selalu tak ada selain di sini.
Seharusnya tak ada kolam di dunia, tapi, selalu ada tapi seperti ini. Bukankah percakapan kita selalu lucu. Seharusnya tak ada kolam di matamu yang membuatku tenggelam di situ, mestinya aku berada di samudra, tapi kolam di matamu dan semangkok air putih menjadikan kita sepasang rama rama terbang di pegunungan berabad abad.
Surat dari ibu di lututku menjadi rapuh, kalimat kalimatnya terhapus satu demi satu. Ibu tuliskan sesuatu untukku, rama rama berbisik di dekat rambutku, kau menyodorkan semangkok air putih untukku. Semangkok air putih dari kolam di matamu di sana aku selalu senang tenggelam. Surat dari ibu terlipat jadi kapal, terapung bergerak gerak seriang kepak sayap rama rama.
Sayup sayup kudengar ombak berdebur di jantungmu*
Tak ada yang tahu di mana ikan ikan besar berusia tua meletakkan jasadnya, hanya satu dua terdampar di pantai, selebihnya mungkin membenamkan diri ke jantung samudra, kucoba menjawab sendiri, aku yang tidak bejubah putih.
Betapa ramainya hidup di balik pintu, mondar mandir membawa kabar gembira, pencerahan, pengharapan, pemahaman. Kepalaku menunduk semakin rendah, kupandangi kakiku menyilang bercelana pendek hitam, sepertinya tersesat di keras dan dinginnya lantai. Di lututku ada selembar surat dari ibu. Seperti mengiba perhatianku, seperti tak peduli seandainya kucampakkan ketika bangkit berdiri.
Siang selalu terang dan panjang, tidak menggetarkan, tapi aku sedang rindu membaca sesuatu. Sebenarnya bukan surat ibu. Sebenarnya aku tak tahu. Aku teringat tentang semangkok air putih, jernih dan sejuk yang terbagi. Hanya tentang semangkok air putih yang kubagi denganmu setiap hari, lalu kita mencoba bicara tentang siang dan malam yang terpisah. Tapi kau selalu di sini, sepertiku selalu tak ada selain di sini.
Seharusnya tak ada kolam di dunia, tapi, selalu ada tapi seperti ini. Bukankah percakapan kita selalu lucu. Seharusnya tak ada kolam di matamu yang membuatku tenggelam di situ, mestinya aku berada di samudra, tapi kolam di matamu dan semangkok air putih menjadikan kita sepasang rama rama terbang di pegunungan berabad abad.
Surat dari ibu di lututku menjadi rapuh, kalimat kalimatnya terhapus satu demi satu. Ibu tuliskan sesuatu untukku, rama rama berbisik di dekat rambutku, kau menyodorkan semangkok air putih untukku. Semangkok air putih dari kolam di matamu di sana aku selalu senang tenggelam. Surat dari ibu terlipat jadi kapal, terapung bergerak gerak seriang kepak sayap rama rama.
Sayup sayup kudengar ombak berdebur di jantungmu*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar