Selasa, 16 Agustus 2011

malam itu


Kutuangkan arak ke dalam gelas, lalu kutawarkan pada layar monitorku, marilah menenggak kesalahan, kemudian tertawa, adakah pendengar di sana. Seisi dunia sedang mabuk kebenaran, kecuali aku. Maaf teman, aku hanya mampu memiliki sebotol arak dari belas kasihan, air mata tak terbeli, terlalu mahal.

Kurayakan kematian di mataku sendiri, kering. Kering serupa sekeping koin untuk menumpang perahu warna warni, anakku akan tertawa senang. Hanya dengan sebotol arak aku berteman, memuaskan kehilangan dan ketakutan pada kesepian. Tapi tak ada yang benar katamu. Aku masih kekasihmu, masih percaya padamu meski mataku mulai lamur oleh mabuk.

Sepasang kuda liar berlari pulang, aku meloncat tinggi sepenuh hati. Angin memang memanggil. Waktuku, jiwamu terbelenggu rindu pada kalimat sesat di pintu rumah. Tak ada nama tersemat di sana, di atas daun pintu atau daun manapun. Daun telingamu saja ingin kukenang manis sebagai rumah kerinduanku. Masih selalu semanis ingatanku. Kau tahu aku selalu bodoh dan semakin bodoh, lebih bodoh dari daun pintu yang lapuk digigi dan lidah rayap rayap musim kemarau*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar