Sabtu, 14 Mei 2011

sejenak memilih waktu

sejenak memilih waktu

by Dian Aza on Monday, March 21, 2011 at 10:12pm

Berada di dalam sebuah toko jam, dia seperti punya begitu banyak waktu. Seluruh dinding dan atalase dipenuhi angka dan jarum, terkurung di balik kaca, seakan-akan bisa diejeknya. Di dalam toko jam,dia bebas menggerakkan mata ke segala arah yang dikehendakinya, seakan-akan berkuasa menentukan peristiwa. Bahkan tak perlu memalingkan wajah, tak perlu menggerakkan otot lehernya, apalagi membalikkan badan, cukup hanya menggeser sedikit bola mata dalam tulang wajahnya dia seperti bisa berpindah tempat.

Bukan tempat yang merisaukan, tapi waktu. Tempat bisa dilihat setiap saat, bisa diinjak, didekati, dijauhi. Tapi waktu tak pernah menampakkan bentuk, bagaimana bisa menaklukkan sesuatu yang tak nampak. kecuali pada benda bernama jam.

Jam tangannya cuma satu, pun sudah sangat tua dan tak bisa diandalkan untuk selalu menunjukkan waktu denga tepat, namun selalu berhasil memerintahkan ini-itu kepadanya. Ketiga jarum dalam lingkaran berdinding kaca itu seolah-olah sungguh-sungguh mengikat lengannya. Serupa borgol, membelenggu langkahnya, selalu semena-mena memilih kejadian, tempat dan orang-orang yang harus ditemuinya, seperti atasan, sipir penjara, atau raja, perintahnya tak bisa ditawar, selalu berseru, segera !

Suatu hari segalanya berjalan begitu kacau, dia merasa sangat muak. Dengan amarah dan dendam yang meluap dia mencopot jam tangannya, menginjak-injaknya hingga remuk tak berbentuk. Sesaat kemudian dia menghela nafas, dengan rasa hampa dia membereskan puing-puing jam tangannya yang berserakan. Dadanya terasa begitu sesak ketika menatap serpihan jam tangan yang biasanya selalu setia melingkari lengannya. Dia ingin meminta maaf, tapi dia merasa itu akan membuatnya bertambah buruk. Pelan-pelan dia terus membersihkan lantai.

Ternyata menghancurkan jam tangan sama sekali tak sama dengan mengalahkan waktu. Tak ada yang berubah, justru keadaannya semakin parah dan merepotkan. Setiap kali dia terpaksa mencari-cari jam dinding untuk mengetahui waktu. Hal itu nyaris membuat kepalanya pecah. Untuk apa menghancurkan jam tangannya jika akhirnya dia malah harus bersusah payah mencari jam yang lain, yang tergantung di dinding atau tegak di atas meja.

Seperti prajurit berpangkat rendah yang harus selalu taat perintah, seperti anak-anak sekolah, seperti buruh, yang terburuk dia merasa macam tahanan, dia merasa harus selalu melapor, bertanya dan tunduk dengan angka-angka dan tiga jarum beda ukuran yang terkurung di balik kaca. Dia merasa tak ada yang lebih buruk dari pada nasibnya yang malang, menjadi budak waktu, seandainya manusia tak pernah menemukan alat yang bernama jam, alangkah baiknya, begitu dia sering bergumam dengan sangat gelisah, marah, juga lelah dan putus asa.

Akhirnya dia menyerah. Bagaimanapun mempunyai jam tangan lebih memudahkan hidupnya, meringankan kerjanya, tidak melelahkan pula, meski dia akan merasa muak hingga ingin meledak setiap kali melihat waktu yang melingkar di pergelangan tangannya. Akal sehatnya memutuskan, memiliki jam tangan tetap lebih praktis ketimbang harus selalu mencari-cari jam dinding setiap kali dia hendak memulai atau menyelesaikan suatu pekerjaan.

Malam ini, dia memaksa kakinya melangkah menuju ke sebuah toko jam, dia berniat membeli sebuah jam tangan baru, pengganti jam tangannya yang dulu pernah diinjaknya sampai remuk, lalu dibuangnya ke tempat sampah. Maka di sinilah dia berada, di dalam sebuah toko jam paling besar di kota. Berpuluhpuluh, atau bahkan mungkin hingga ratusan jam beregantungan di seluruh ruang, dalam etalase juga terdapat banyak sekali jam meja dan jam tangan, aneka ukuran, model dan warna. Tiba-tiba terlihat olehnya letak jarum-jarum dalam banyak jam juga menunjuk ke arah berbeda, menunjuk ke angka-angka berbeda. Berarti menandai waktu berbeda pula. Dia tiba-tiba merasa gembira, memindah-mindahkan pandangannya ke setiap waktu yang ada dalam ruangan itu, matanya bergerak lincah.

Penjaga toko memandangnya, tersenyum ramah, sedikit menggangguk, dia balas tersenyum dan mengangguk. Kemudian melanjutkan keasyikannya memilih waktu yang ingin dipandanginya.

Jam empat pagi, dia merenggangkan otot lengan dan punggungnya seperti seekor kucing, menarik selimut, dan kembali memejamkan matanya dengan puas. Jam enam lebih tiga puluh menit, dia menikmati sarapannya, tenang dan nikmat, tak perlu tergesa-gesa seperti biasanya, dia masih punya cukup banyak waktu sebelum terlambat berangkat bekerja. Jam setengah satu siang, pekerjaannya sudah beres semua, dia menikmati makan siang dengan santai. Jam lima sore, dia bersiap meninggalkan ruang kerjanya, dia berencana akan mampir membeli makan malam lezat untuk merayakan harinya yang menyenangkan. Jam delapan malam dia sudah duduk di sofanya, bersih, hangat dan kenyang, bersiap menonton sesuatu yang menyenangkan di layar kaca, dan dia masih punya beberapa kaleng minuman dan makanan ringan yang akan membuat perasaannya semakin nyaman.

“Maaf, bisa saya bantu ?” Suara itu mengganggu, dia sedang mengunyah kripik sambil menikmati film favoritnya.

“Maaf mas, ingin mencari jam dinding, atau… ingin model atau merk yang bagaimana ?” Suara itu lagi. Dia terpaksa mengalihkan pandangan dari jam sembilan malam paling menyenangkan yang pernah ada dalam hidupnya.

Jalanan sudah sepi, hampir semua toko sudah menutup pintu*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar