jalanjalan siang
by Dian Aza on Thursday, March 24, 2011 at 11:03pm
Siang menumbuhkan benalu di benakku. Mendung masih menggantung di langit, kelabu, seperti sekumpulan debu bersayap bergerombol terbang di angkasa. Apa yang kupahami tentang letih, hanyalah sekumpulan hati yang terlalu berhatihati memilih jalan, menghindari kerikil dan semaksemak berduri yang mungkin melukai kaki. Kaki memang tak berotak, hati yang harus terusmenerus menjaganya.
Kucoba menghitung berapa banyak sudah namamu kusebut sampai waktu ini, tak terhitung. Seorang pecundang yang tak sanggup memaafkan semua pasal dalam undangundang, semua nama pada daftar undangan pesta, begitulah aku memandang diriku sendiri saat siang hari, terang dengan lancang membeberkan setiap kenangan atau angan, tak menemukan ruang untuk sembunyi.
Untuk seorang perempuan sederhana, semestinya hidup bersikap ramah, tapi tidak juga. Hanya pengemis yang ingin rasa manis, seorang pejuang selamanya lebih suka pahit dan asam, tak ingin terbunuh rasa dahaga. Bagaimanapun ini siang melelahkan. Aku sangat berhasrat melemparkan semua benda tak berguna sembarangan, juga tubuh penatku. Aku tak tahu apa manfaat menyayangi tubuh penat milikku, kenapa pula aku harus membawanya kemana saja, macam kutukan saja.
Dan seakan semua belum lengkap sampai aku berada dalam toko buku. Sebuah tempat sesuai namanya, toko buku adalah ruangan dengan sejumlah banyak buku. Banyak di sini berarti sungguhsungguh banyak dalam nominal, jumlah dan judul, banyak buku. Deretan rak, meja rendah dan tinggi, lemari kaca, di manamana penuh buku. Aku suka buku, dari bunyi dan kata, sampai wujud nyata. Aku setuju dengan sebuah kalimat bijak, bahwa buku adalah sahabat terbaik, jendela dunia, gudang ilmu dan lainlain serupa itu. Masih pula kutambahkan dengan kalimat romantis milikku sendiri, buku adalah sayap kupukupu, akan hinggap di tanganku, jika tumbuh bunga di situ. Bunga berbentuk segiempat dengan deretan angka, abjad, sebuah wajah bersahaja, dan sepotong lukisan hewan atau pemandangan. Bunga, begitu manusia abad ini menyebutnya. Mereka menanamnya di manamana, di lembar kertas berstempel dalam gedungdegung bagus, menunggu waktu bunga tumbuh, memetik hasilnya. Betapa puitisnya, duit…
Toko buku , membuatku teringat tak ada bunga di tanganku, tak ada bunga yang bisa menyulap buku jadi kupukupu, lalu hinggap di tanganku. Sungguh tak enak mengingat hal itu. Maka aku melangkahkan kakiku kembali ke jalanan, merasa hampa dan bahagia.
Hampir sore, langit masih terang. Jika aku berjalan ke arah utara, aku akan tiba di depan pintu rumahku. Mungkin jauh, tergantung caraku menikmati udara, kebetulan udara siang ini terasa akrab. Aku berjalan sambil main injak. Begitulah caraku berjalan, main injak. Setiap kali kaki menjejak tanah kubayangkan ada yang terinjak di bawah langkahku. Aku punya daftar panjang tentang siapa dan apa yang bisa kuinjak agar aku bisa berjalan dengan riang.
Daftar itu sudah lama kubuat, sejak aku sering menggerutu ketika berjalan di bawah hujan, melewati jalanjalan berlumpur dengan tubuh menggigil kedinginan. Isi dalam daftar itu bisa diganti kapan saja kuinginkan, bisa kutambah atau kuhapus sekehendak hati. Pada baris teratas kutuliskan sebutanku untuk segala hal yang ingin kuinjak ketika berjalan, ‘musuh bebuyutan’, hahaha… Mungkin sedikit berlebihan, tapi tak ada yang berhak melarangku memberikan sebutan apa saja pada apa yang kubuat untuk diriku sendiri. Dengan menginjakinjak musuh bebuyutan, setiap perjalanan jadi sebuah permainan menyenangkan. Semakin jauh jarak mesti kutempuh, semakin banyak musuh bebuyutan yang kutaklukkan di setiap langkah. Betapa nikmatnya.
Hmm, sepertinya aku perempuan jahat, sungguh aneh, tibatiba tubuhku terasa jauh lebih ringan, rasa lelah dan penatpun pelanpelan memudar. Udara mendadak terasa sejuk, segar dan menyehatkan. Menjadi jahat ternyata sangat melegakan nafas*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar