Sabtu, 14 Mei 2011

kranium

kranium

by Dian Aza on Monday, March 28, 2011 at 5:52pm

Mendung datang, tak istimewa, setiap sore mendung sering datang, lalu angin, lalu gerimis. Lalu menderas, dingin menampar kepalanya, menggetarkan tangannya.

Dia mencoba mnyusun kepingankepingan gambar yang pernah disobeknya penuh nafsu, mungkin gambar itu merindukannya, ingin melihat loronglorong dalam matanya yang berwarna tanah.

Aku bukan tanah, loronglorong itu berteriak, tanah tak bisa menyimpan wajahnya. Dia mulai menangisi sesuatu yang tak bisa dipahami. Dia tak punya cermin, sembarangan saja diusapnya wajahnya dengan jarijari berdarah.

Barusan kupecahkan semua cermin, mereka  semua penipu, menunjukkan segumpal daging terbalut kulit, rapuh. Segumpal bibir bergerak lincah, sepasang alis melengkung manis.  Sedih sekali rasanya didustai oleh sepotong cermin, alangkah baik jika mata bisa memandang ke dalam kepala. Melihat kerangka yang serupa di semua wajah, dia tak akan pernah lagi merasa sendirian dan kesepian di tengah keramaian.

Kulihat di balik wajahmu kerangka yang sama dengan kerangka ibuku dan anakku. Bahkan dengan kerangka dua kera kecil di pasar burung, terkurung, tak berinduk, berpelukan erat, mengharukan.  Dia berpikir dia akan bahagia kalau bisa dilihatnya kepastian di balik wajahnya. Secantik gading, putih, tak ada noda bekas sayatan, tak ada jejak telapak tangan, tak ada kerut dan pesanpesan sedih, kecewa atau marah, tak ada mata berwarna tanah yang dipenuhi loronglorong suram.

Cacingcacing tak suka memakan kerangka, atau tak bisa, Tibatiba merekah senyumnya, dia bahagia membayangkan akan selamanya saling mengenal dan saling mencintai wajahwajah yang sama dengan wajahnya sendiri*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar