Kamis, 21 April 2011

tulisan buku

tulisan buku

by Dian Aza on Saturday, March 19, 2011 at 1:31pm
Selama ini kukira aku sudah cukup sabar memberimu pengertian tentang banyak hal. Kau juga pasti sudah tahu bahwa kesabaranpun berbatas adanya. Kuserahkan diriku utuh kepadamu, untuk kaubuka, kausentuh, kauraba, kaubaca, kaulelehi air ludah, kutumpahi isi kepala, kausumpah serapah. Aku pasrah. Kau masih pula membuncah resah, membolakbalik duniaku, entah mencari apa.

Sampai suatu hari ada yang mengerti artinya tak dicintai sepenuh hati. Kami berjumpa tak sengaja di sebuah sudut remang dalam ruang yang dindingnya tak ditempeli pertanda. Aku merasa senasib dengannya, dia menawarkan rencana bagus untuk membuatmu menjadi lebih peka. Bukan balas dendam yang kejam, hanya sebuah kejutan, semoga bisa membuatmu sejenak melupakan bahwa bukan hanya kau yang berakal. Bahwa dia dan aku juga ingin menjadi sesuatu yang lebih  daripada hanya si dungu yang dipuja dan selalu dibawabawa kutu buku.

Tibalah hari yang kita tunggutunggu, hari yang tak ingin mengingat dirinya sendiri, hari yang membenci cuaca, liburan dan acara berita. Dia melubangi tubuhku, mengeluarkan setiap katakata bijak dan sabar yang biasa kusimpan untukmu. Lalu memasukkan bendabenda asing ke dalam tubuhku sebagai pengganti segala yang dikeluarkannya dari tubuhku. Aku merasa lebih hidup, ada yang berdetak dalam diriku, seperti menghitung waktu, mengingatkanku pada sesuatu yang selama ini akrab kudengar : bunyi dari dalam dadamu yang menulikanku ketika kau tertidur dan membiarkan aku terkulai menunggumu.

Sesudah menjahit lubangku, dia membungkusku dengan rapi, mengantarku padamu.

Aku kembali menunggu sampai kau membuka pembungkusku. Ternyata kau cukup waspada, tak sepayah sangkaanku. Kau bisa tahu ada yang berbeda denganku, tak seperti biasa adanya aku.

Segalanya berlalu terlalu cepat dan samar, terlalu banyak wajah, tangan dan suarasuara di sekelilingku, air mengalir deras. Aku basah kuyup, detak dalam tubuhku semakin riuh. Tibatiba, duarr... Aku meledak, pecah berkepingkeping, sepertinya bersama sepasang tangan. Begitu banyak asap dan cahaya. Lalu segalanya terasa begitu kecil dan berkilau, melumat serpihan tubuhku. Rintihan kesakitan, ketakutan dan kemarahanmu lagi tak bisa kudengar, hanya bisa kubaca gerak bibirmu saja, yang tak juga berhenti, apakah di antara kita ada yang mati.

Ketika kau atau seseorang membaca ini, mestinya aku sudah tak ada lagi, dan kau sudah mengerti macam apa rasanya tak dicintai. Sedangkan dia, di manapun dia berada, aku ingin menyampaikan terima kasih, kini semua orang menyebut namaku dengan rasa segan dan khidmat. Aku merasa sama perkasa dengan malaikat pencabut nyawa, samasama tak terduga dan tak ingin kaubaca*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar