Kamis, 21 April 2011

maktub

maktub

by Dian Aza on Tuesday, March 15, 2011 at 5:40pm
Kurasa cukup banyak sudah aku bicara, tentang semua yang ingin kukatakan padamu, seperti kebisuan pasar, keheningan angin, ketaatan kayu,  segunung sampah yang jenuh pada aroma tubuhku. Sudah berlebihan pula aku menggertak yang lewat, tapi kamu, kamu dan kamu masih juga tak acuh.

Hari ini, akhirnya kudapatkan septong kue megah. Menyebalkan, tak bisa di makan, hanya gulagula bunga dengan warna pudar membungkus sebongkah gabus, tak utuh, tak bagus, seikat mawar ada di sana, lilin patah, sumbunya terkulai, hitam, lelah, lapar menunggu api.

Seorang lelaki memberiku sekotak korek api ketika kudekati sambil  melotot dan menunjuk tangannya, kukuku tajam menakutkan.

Aku duduk bersila, tiangtiang dan pintu kayu menatapku, gunung sampah gelisah, lalat mendengung bingung, tapi kamu, kamu, dan kamu masih berjalan tenang, dari dan menuju arah berlawanan. Kamu, kamu dan kamu tak menoleh padaku, seolah aku tak ada di sana, seakanakan tak ada yang pernah berpapasan jalan dengan kelalaian. Tenang, tenang, kenang, kenang, dalam ingatanmu aku takkan pernah hilang.

Kamu, kamu dan kamu yang tak hilang ingatan tahu cara memaafkan. Aku tak bersalah, hanya karena menyalakan api sebesar pasar. Telah kulakukan tugasku dengan baik, purapura tak berakal untuk membakar pasar yang harus dibongkar. Tak ada yang tahu hari ini kebetulan hari ulang tahun ayahku. Hari paling tepat untuk berpesta.

Dari lidah api katakatamu mengalir jernih*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar