Minggu, 06 November 2011

prejudice

Ia terus menggedor pintu lemari baju. Tangannya mengepal diayunkan sekuat tenaga memukuli lemari baju. Tak sehelai bajupun membukakan pintu.
Baju baju sialan, pura pura tak mendengar ketukannya, punggung tangannya telah memar dan mulai terluka. Baru sekarang ia terpaksa menyadari semua baju dalam lemarinya bebal serta tak tahu membalas jasa, tak sudi menghibur dan melindunginya pada saat ia sangat butuh menutupi tubuhnya.
Mestinya baju bajunya ingat nasib meraka sebelum dibelinya. Tergantung berderet deret, menyedihkan dan mengiba di toko busana, distro dan mall. Baju baju telah melupakan bagaimana dulu ia rela membayar mahal supaya baju bajunya tak merasa sia sia, disebut tidak menarik hati, tidak sesuai selera pasar dan mode terkini, keadaan yang paling tanpa harapan adalah ketika sehelai baju dikatakan tak laku laku oleh siapa saja yang mengingat berapa lama baju dipajang di balik dinding kaca, di bawah guyuran cahaya.
Ia pernah dengan iklhas membayar mahal untuk setiap helai baju di dalam lemarinya. Membawa baju baju pulang ke rumahnya, menaruh mereka dengan senang dan bangga di lemari bajunya. Sebuah tempat terhormat yang bersih, rapi dan berbau wangi di mana semua baju terbagus seharusnya tinggal.
Sungguh baju baju tak tahu diri. Pada saat ia butuh teman dan hiburan, tak sehelaipun baju sudi peduli padanya. Baju baju cuma mendekam diam di dalam lemari bajunya.
Ia masih menggedor lemari bajunya kuat kuat sambil menggigil kedinginan, ia sama sekali tak mengerti betapa inginnya baju baju di dalam lemarinya membuka pintu.dan menghambur mendekapnya*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar