Minggu, 20 November 2011

amitabha

Kalau kau pernah menulis cerita, meski acak acakkan, tak bagus dan tak sampai selesai, kau akan lebih mengerti perasaan tuhan. Selama ini kukira hanya manusia yang ingin dimengerti perasaan dan isi hatinya atau apapun namanya yang menyesak di dalam sini. Tuhan pasti selalu baik baik saja, menulis cerita memberiku pandangan baru. Tuhan juga sendiri di sana, memandangku dengan mata sendu, tekun mengirim isyarat rindu, sering mengeluh tanpa suara, mengertilah aku, tuhan ingin mengatakannya berulang kali. Sesering bencana, dan aku dengan tak peduli terus mengarang cerita tentang sosok perkasa yang serba bisa, yang tak butuh siapa siapa.

Ini juga karanganku, khayalanku, imajinasiku. Ketika mengerjakannya sebisa mungkin kuacuhkan pengandaian tuhan tidak berkenan. Lagi pula kalau benar tuhan adalah tuhan dan tidak berkenan, pasti dia akan membuatku berhenti berkata kata. Tuhan diam dan aku baik baik saja, tak ada guntur besar, gempa bumi atau tsunami menyerangku saat ini. Beranilah kusimpulkan tuhan tidak keberatan dan baik baik saja dengan apa yang kukerjakan.

Cerita tentang tuhan kerap membosankan, sebab tak ada yang nekad usil menggambarkan tokoh tuhan tak seperti yang lazim dibaca dan didengar sejak dahulu kala. Mungkin bahanku terlalu terbatas, tak membaca banyak cerita heboh yang menyimpang tentang tuhan yang serba maha. Orang orang atheis pasti punya segenap bukti meyakinkan bahwa tuhan konservatif sama sekali tidak penting. Sesungguhnya kaum atheis telah lebih dahulu mengenal tuhan, mempelajarinya baik baik, mencoba memahami hingga mereka menjadi begitu muak dan sia sia. Konon segala yang berlebihan berujung kehancuran, paling tidak kebosanan. Sangat berlebihan berlanjut pada kemuakan ekstrim. Serupa listrik yang digunakan dengan beban daya terlalu berat berakhir dengan ledakan dan putusnya aliran, padam. Mirip itulah kejadiannya, manusia manusia atheis akhirnya menyingkirkan tuhan jauh jauh dari hidupnya setelah berkutat terlampau dekat. Kalau aku berani menafsirkan tuhan sebebasnya, wajar sekali kalau aku juga berani menarik kesimpulan untuk orang orang beragama dan atheis dengan sebebasnya sekaligus, dua duanya berhubungan dan menyangkut sosok tuhan yang kuandaikan selalu berkenan.

Mereka yang relijius selalu menemukan alasan untuk membela tuhan, mereka yang atheis sebaliknya tak pernah kehabisan ide menghujat tuhan. Keduanya adalah kesimpulan tak terdebat tentang eksistensi tuhan. Aku bukan agamis atau atheis, aku cuma mau cari untung dan selamat dunia akhirat. Itupun jika akhirat memang ada, kalau tak ada aku tak akan rugi apapun, setidaknya aku mahluk cerdik, kau mungkin lebih suka mengataiku plin plan dan menjijikkan. Kerjakan saja, kau berhak penuh, setara dengan semua yang pernah dan masih akan kukatakan berulang bahwa akulah satu satunya yang benar. Hahaha…

Gawat, kalau dibaca yang berwenang aku bisa dituduh tak waras, menyebarkan kesesatan, dan apa saja yang intinya membuatku layak jadi tahanan. Kalau itu terjadi di bumi, tuhan tak akan peduli, tak menolong, malah seolah olah lupa aku adalah salah satu ciptaannya, dan hanya bisa mengerjakan segala yang tuhan berkenan. Kalau otoritas atheis yang berkuasa, aku tak tahu apa yang terjadi, sejauh pengalamanku kaum atheis enggan mengusik seseorang yang diduga tak waras, mungkin mereka akan sama sekali tidak peduli, dalam arti tak peduli aku hidup atau mati. Manakah yang agak lebih baik, hukuman atau ketidak pedulian, sama sama menyakitkan untukku yang perasa. Hahaha…Aku bilang aku perasa. Hahaha…

Tak ada yang bisa menilai diri sendiri, dan aku tak perlu pengecualian untukku. Aku tak boleh resah kalau ada yang bilang aku bebal, dungu, kejam, atau apapun yang terburuk. Tak boleh galau meskipun yang bilang adalah diriku sendiri. Tak ada yang obyektif menilai diri sendiri, hahaha…

Aduh kenapa jadi jauh, selalu begini akhirnya aku cuma menulis yang kacau dan tanpa kerangka pikir, istilah orang orang pintar itu. Sekarang waktunya kembali ke topik awal. Jika masih ingin menulis, aku harus menggunakan sepenuhnya kehendak bebasku untuk memilih siapa yang baik dan benar, atau baik tapi salah, atau jahat tapi benar, atau jahat dan salah. Rasanya benar benar menjalankan peran sebagai tuhan. Sebagai tuhan, aku tak butuh pembenaran atau dukungan, tak keberatan melakukan kesalahan dan mengabaikan hujatan. Kurasa hanya orang hebat yang mampu menulis, meskipun tak bagus, acak acakkan, tak tamat, masih boleh kutambahkan kekurangan lainnya yang berdampak luas maupun personal, macam mengubah nilai nilai masyarakat, atau membuatmu cemberut, mengkerut sampai membenciku. Seperti tuhan, sesungguhnya aku merasa berhak menerima senyum dan pujian setiap saat sekalipun ada yang kubuat porak poranda. Kalaupun bukan senyuman atau pujian yang kudapat, seperti tuhan, akupun akan terus berkata kata dan bertindak seolah olah itu hanya kelalaianmu saja. The show must go on. Amitabha*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar