Lidah tak bertulang, kata kata tak bernyawa. Semua pepatah lama menjadikan diam itu emas. Diam seribu bahasa, beribu ribu emas. Haruskah manusia menggunakan kalimat kalimat usang untuk memuaskan dan membenarkan kecemasan. Siapa yang tak pernah beranjak dari lidahku, menyuarakan perdebatan dengan kediaman yang aman.
E…mas, seperti sapaan perempuan genit kurang kerjaan. Berkilauan bibirnya merah gincu murahan. Kujadikan dia satu satunya manusia yang layak kumaklumi jika enggan menutup mulutnya, menari nari lidahnya menawarkan kemudahan, kemurahan, keramahan dan segala yang dilupakan pasal pasal undang undang dasar.
Kuseduh sendiri kopiku, kubiarkan dingin, tak kutawari seorang manusia lain yang bermukim di sampingku, atau di dalam kepalaku, volume suaranya selalu keras, tak bisa kulembutkan. Kuharap karena kuacuhkan dan tak kubagi kopi padanya dia akan pergi. Tapi dia tidak pernah pergi, setiap saat menunggu waktu paling tepat mengajakku berdebat. Dengan bahan dan literature yang sama, dengan perumpamaan dan pengandaian yang beragam. Dia memaksaku bertukar pendapat. Membuatku terhina, aku selalu beranggapan pendapatku paling benar tak layak dipertukarkan dengan siapa saja, terlebih dengan sesosok mahluk samar yang terlalu pengecut untuk menjauhiku.
Aku tak pernah tahu kenapa dia tak pernah berhenti mengusikku. Aku merasa tengah memerankan seorang lelaki tampan yang berjalan pulang tengah malam di seruas jalan keramat. Bulu kudukku meremang, aku bukan penakut, tak cukup pengecut sampai perlu berlari meninggalkan yang ada di belakang tubuhku. Aku berbalik dan bicara dengan udara yang kegelapan, kuminta dengan tegas dia tak lagi berjalan di belakangku atau di manapun dekat denganku. Tinggalkan aku sendiri, itulah mauku. Dia diam seribu bahasa, beribu ribu emas seolah disodorkannya padaku, aku tak menerimanya, tapi dia tak beranjak. Dia mungkin terpesona pada parasku yang indah.
Aku merasa payah, membalik badanku ke arah semula dan berjalan kembali dengan leher hangat menembus dingin malam. Resiko orang tampan pikirku, dan pintar, pemberani pula. Lama kelamaan kurasakan mahluk yang mengikutiku mengajakku bicara, aku tak paham seribu bahasa diamnya, dia terus berceloteh. Mirip pemuja kerasukan roh, aku ingin tertawa kalau saja tidak sedang berjalan bersamanya. Tak akan kubiarkan dia melihatku tertawa, bisa saja dia mengira aku senang atas kehadirannya. Situasinya aneh sekali.
Keanehan selalu menimbulkan sensasi, nikmat yang bikin penat. Naluri kemanusiaanku menang, aku ingin tahu apa saja yang dikatakannya dengan seribu bahasa diamnya. Sambil berjalan dan pura pura tak peduli, kecermati setiap kata katanya. Kucoba memahami kalimatnya, berusaha menafsirkan maknanya. Aku masih ingin tertawa, teringat sekumpulan manusia yang bicara dengan bahasa roh pada sebuah perjamuan kudus. Sesosok mahluk yang menemani perjalannku malam ini membuatku terkenang pada gema gema kalimat di dinding megah dan pilar pilar yang tak kumengerti, mereka berkata kata dengan yakin, suara suara dari bibir manusia yang memberitahuku sedang bicara bahasa roh. Mungkin bibir mereka terbuat dari sepasang gumpalan daging istimewa, itu saja kesimpulan pertamaku, selanjutnya persis macam malam ini, aku hanya bisa sekuat daya menahan tawa.
Langkahku selurus jalan, pikiranku sejernih malam, dua bekal yang lumayan untuk terus berjalan ke manapun tujuanku. Tapi mahluk itu tak berhenti bicara bahasa yang tak kunjung kupahami betapapun kupusatkan konsentrasi, suaranya cuma terdengar bagai raungan penuh huruf yang tersusun tak teratur, membuatku gusar dan makin bertambah besar gusarku pada setiap langkah.
Dugaanku ternyata benar, bahasa diamnya sama sekali bukan emas dan sosoknya mulai terasa menjengkelkan. Kusadari dia membuatku teringat pada perempuan perempuan genit kurang kerjaan yang mengoceh seharian tanpa makna. Tentu saja tak ada siapapun yang tahan berada di dekat seseorang semacam itu dalam waktu lama. Sebentar saja menjadi sangat tak sabar, rasanya berabad abad ocehannya tak pernah redam. Leherku mulai mendidih dan mataku seolah berasap, perih. Aku ingin menendang atau menamparnya sekuat tenaga, hingga dia terjengkang cukup jauh dariku, tak mampu bangkit kembali untuk menguntit perjalananku. Bayangan tentang kenangan bahasa roh memudar, digantikan gambaran gambaran paling buruk tentang makian dan hasrat hebat untuk menyingkir sejauh mungkin darinya yang suaranya kini tak mirip lagi dengan perjamuan kudus ataupun gang gang mesum, suaranya lebih buruk dari apapun juga yang pernah menyapa telingaku.
Aku berharap segera tiba di rumah, berharap selembar pintu bisa memisahkannya dariku. Aku tak ragu pada jalanan yang kutempuh, dan tak ingin menambah kerisauanku dengan kemungkinan aku tersesat. Meski kenyataannya jalan yang kulewati seakan tak berujung dan tujuanku menjauh, sementara mahluk bersuara buruk terus mengoceh di dekatku, menghembuskan udara panas di leherku, memenuhi telinga dan kepalaku dengan suara suara dari bahasa terburuk sepanjang ingatanku.
Bagaimanapun malam pasti berganti pagi, gelap berubah terang. Pergantian hari dan lokasi membuat harapanku menyala, kalau dia bukan seorang manusia mungkin dia takut cahaya, kalau dia manusia dia akan lelah, berhenti berjalan di dekatku hingga aku tak lagi harus mendengar ucapan kacaunya. Dan menghilang begitu saja serupa gelap malam.
Aku mulai mati rasa, atau putus asa, sewaktu dia tak juga pergi pada pagi hari setelah menempuh perjalanan jauh meninggalkan tempat di mana aku mulai menyadari kehadirannya dan pertama kali memintanya meninggalkanku. Aku belum tiba di manapun yang jadi tujuanku. Dia bergeming berjalan di dekatku. Dia pasti bukan manusia karena tak pernah lelah, terus berjalan dan berkata kata dengan bahasanya yang tak terjemahkan pendengaran dan nalarku, aku diam seribu bahasa, mungkin pasrah meskipun tak penat, dan tak lagi nikmat. Perjalanan aneh kali ini serasa tak akan berakhir sampai akhir jaman*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar