Kamis, 30 Desember 2010

PS, i love you

Aku batangbatang jerami, usai sudah menjalani musimku. Berbaris, saling bersandar, menatap bulir padi bersinar cantik di bawah matahari. Merasa utuh dan berarti, aku menanti api. Lumat tubuhku dalam biru, biar awan merengkuh. Agar dia yang menanam segera membaca pesan dari liukan asap.

Mulamula menjulang tiang, bola, sebuah sudut, kerucut, garpu, gelas, ranting, semua berakhir kepada putaran bumi dan senyum petani.
I L O V E Y O U, mata petani mengalir sungai, merah menyala*


saat kau tertawa

Aku selalu percaya cinta itu buta, juga semua pencinta yang membutakan mata demi menatap cahaya.
Tapi, pepatah mengatakan, cinta datang dari mata.
Aku ingin tahu, mata apakah yang mendatangkan cinta. Matahari, matahati, matauang atau matakeranjang.

Dari mata, cinta turun ke hati. Pantas tak ada logika, hati bukan otak, tak bisa berhitung, tak ingat dalil dan rumus, hanya tahu membuat enzim penetral racun.

Maka cintaku padamu, dari matamu turun ke hatiku.
Dari matahari terbenam dalam hati.
Hangat dan sehat tak terkira, saat kau tertawa*

janji perempuan

Janji adalah seorang perempuan yang tersesat dalam bayangannya sendiri. Berpikir bahwa dia hendak pergi meminta keadilan pada sebatang dahan, dan menemukan dirinya sudah mati sebelum keadilan sampat menumbuhkan buah. Perempuan itu sudah mendatangi semua warung dan pasar, memohon sebutir obat pereda demam untuk anaknya. Sebutir obat untuk sepasang mata penuh bintang, tak ada yang sedia sebutir obat pereda deman untuk anakanak. Sekarang tahun dua ribu sepuluh, tak ada lagi demam menyerang anakanak. Cuma ada gunung berapi meminta jalan, meninggalkan jejak panas di kening anakanak, membekukan bintang pada matanya. Karena perempuan tak menepati janji pada mainan atau sebutir kacang bersalut coklat, janji untuk tak pernah tersesat dalam bayangannya sendiri. Dia perempuan yang sepanjang hari berkeliaran di lereng gunung berapi, menunjukkan aneka namanama binatang pada anakanak. Perempuan itu paham, anakanak adalah penggemar binatang, juga penyimpan bintang dalam kelopak matanya. Perempuan itu pernah berjanji membawakan kandang untuk binatangbinatang yang sedang duduk manis menghitung bintang di mata anakanak* 

sekepal jantungku

Hujan mengajariku menulis. Menjatuhkan katakata seirama rinai, menyengat punggung, lalu sejuk.  Membawa aroma tanah ke dalam kepala, kau menyergap, meringkus lenganku yang melambai. Aku tak pernah bertemu, aku tak ingin bertemu, agar selalu bisa menuliskan rindu sekokoh batu. Hujan mengasah batu di celah rambutmu, licin berkilau memanggilku.

Kulepas jantungku, mengusir ragu di sisi bantalmu. Kudengar dadamu gemuruh, penuh hujan masa lalu, gumpalan mendung, pelangi yang warnanya terceraiberai. Jantungku duduk menunggu, menunggu hujan reda, menunggu mendung meleleh habis, menunggu pelangi menyusun dirinya sendiri. Sebelum malam sekali lagi berlalu, membawa pergi kilau batu dari rambutmu, aku meminta waktu, sebelum pelangi utuh, jantungku menunggu. Tanpa lengan, tanpa tungkai, tanpa kepala. Cuma sekepal jantungku, berdetak senada rinai dalam dadamu*

bendan

Sejak kecil aku belajar menggaris, memetakan petakpetak pada halaman sekolah. Meloncat dengan sebelah kaki, menyimpan satu tungkai untuk menjejak rumah. Serpihan genting jadi pengingat dimana rumah pernah ada, menjadi sebuah ruang untuk kedua kaki berdiam diri. Garis terhapus dan tergambar oleh goresan genting dalam tangantangan kecil, dengan jemari yang kerap meliuk, seakan setiap saat hendak menjenguk, apakah jendela kelas masih baikbaik saja, selalu bisa memandang kakikaki yang berloncatan di tanah berpetak, menjejak rumah dalam garis ingatan*

lima sajak di koran Suara Pembaharuan 17102010

Sajak-sajak Rose Widianingsih

Tak Ada Hujan Siang Ini
Seandainya ada hujan siang ini, mungkin aku bisa merelakan malam berlalu tanpa sebuah kisah. Aku terlalu kerap bercerita. Memaksa ruang kehilangan kehendak. Berandai-andai tentang badai, datang menyeret ribuan kali ketukan di pintu kamarku. Suara-suara dan wajah-wajah hanya sebuah khilaf yang berulang kali meminta maaf. Pada jembatan, pada ruas jalan, pada hujan, pada yang tanpa suara dan tanpa wajah.

Lalu aku melihatmu, bertanya apakah sebuah andai cukup meredakan badai. Siang atau malam, suara dan wajah yang sama menjenguk, menunduk, seperti ingin bertemu dengan ruang yang hilang. Menjahit sepatu, menambal baju, merekatkan bukubuku. Mencoba menghapus ingatan tentang bintangbintang jatuh di halaman rumahku. Bintangbintang terluka, tak mampu mengabulkan doadoa, hanya diam menunggu padam.

Hujan mungkin tak mendengar gemuruh suaranya sendiri, yang selalu kucuri diam-diam. Kusembunyikan di lengan, telapak tangan, bahu dan kepalaku, kusimpan dan kujaga sendiri dalam catatan dan ingatan. Untuk kubuka kembali. Kumainkan sendiri, ketika badai mengetuk pintu di sebuah siang yang landai. Siang yang tak suka berandaiandai. Siang yang mengembalikan rinai hujan kepada mata. Jembatan dan ruas jalan basah. Debudebu hanyut, daun-daun berseri, hijau sejernih permata.

Pasuruan, Agustus 2010


Semadi
pucuk-pucuk pinus punya kisah sendiri
tak pernah terbaca akar pemberi nafasnya
dan aku hanya pantas bertanya
nyanyian siapa yang sedang kudengar?

Pasuruan, Agustus 2010


Devoziby
Saat aku menyusun kembali patahan-patahan doa, kata-kata menjadi sangat marah. Dengan kepalan tangannya, dipecahkannya tabung penanda waktu yang menindih kertas-kertasku.
Tanganmu terluka, meneteskan jejak merah. Dan aku jadi kehilangan nyali, tak lagi ingin mengerti. Tak lagi ingin mengenalmu lebih karib daripada namanama di halaman surat kabar.  Aku pasti sudah mencoba sembunyi darimu, jika saja kau tak akan pernah menemukanku mencarimu kembali: Kau selalu bisa membuatku bertanya dan meragukan diriku sendiri.

Pasuruan, Agustus 2010


Buat Ibu
Kita mesti berpisah, aku akan lupa pada buaianmu.
Menyingkirkan masa lalu dari lemari baju.
Serupa benar dengan memotong
nadi penyambung hidupku.

Cuma sebentar saja aku
boleh menangis.
Meratapi sesuatu tentangmu, yang
terlupa dan tak pernah ada.

Pasuruan, Agustus 2010


Reporte
Kuberikan hatiku pada ular, agar dapat turut menari, seirama tiupan serulingmu. Guci ular tampak lebih lapang dari taman surga. Tapi kau marah dan mengataiku pandir. Aku terlanjur mendengar cuma dengan telinga buta. Telinga yang penuh lubang tindikan. Seribu giwang menancap, mengejek lidah yang memutih oleh jejak susu, berkilau tersepuh madu. Bersama-sama, semua tertawa, melata, merasa merdeka.

Aku mulai mengerti: hatiku sudah mati sejak kautiupkan nada pertama. Jauh sebelum ular, aku belajar berdiri, lebih tegak, lebih tinggi. Memecahkan guci ular, tubuhku mencari belati, demi hati yang sangat ingin menari. Aku terus mencari suaramu dari seteguk demi seteguk arak, kepada sehembus demi sehembus asap. Kau membuatku terkapar. Ketika tubuh ular melesap, kembali ke dalam guci, hatiku berserakan, berulangulang.

Tanah jadi begitu merah, ketika namaku tertera di sana.

Pasuruan, Agustus 2010


Suara Pembaharuan
Minggu, 17 Oktober 2010

putih

Ibu selalu menemuiku sehabis mandi. Muncul dari dalam cermin dengan kotak perak di tangan kanannya. Dengan tangan kirinya ibu mengelus wajahku, mengoleskan serbuk putih dari kotak peraknya ke seluruh wajahku. Putih dan wangi pada leherku, selalu membuatku dengan sendirinya bertanya,”Setelah ini, kemana kita hendak pergi ?”

Ibuku menjawab dengan kerling matanya,”Kau boleh pilih, mau jadi merpati atau melati…”

Kotak perak itu, seperti biasanya menyela percakapan, menatapku dengan pandangan dingin, merajuk kepada cermin, kotak perak menuduh aku nakal. Cermin tertawa mendengarku berseru manja, aku ingin jadi kelinci saja.

Ibu dengan lembut menarik telingaku,”Kau memang bengal.”

Aku jadi kelinci saja, bertubuh seputih awan, mata saga, telinga panjang. Bisa kudengar bisikbisik merpati memadu janji, juga suara melati beradu harum pada ujung merah jambu hidungku. Hidung yang selalu bergerak riang mengejar remah biskuit di paruh merpati.

Ibuku tersenyum, renyah dan segar. Lalu Ibu menjelma kuda putih, dan kami berbagi sebatang wortel dengan gembira*