Selasa, 07 Februari 2012

cap go meh

Ini tentang ketersesatan gemilang.

Kucingku menangkap seekor katak, masuk rumah dengan langkah ringan dan ekor tegak, seiring suara ringkikan katak pada moncongnya. Taringnya mencengkeram erat tubuh katak yang menggelembung.

Aku mau berkata hidup itu sempurna.
Kucingku tadi sudah makan malam, dengan nasi dan lauk ikan laut kegemarannya. Seharusnya kucingku telah kenyang, berbaring nyaman di atas monitorku yang hangat, mendengkur keras hampir terlelap. Bukannya keluyuran mengganggu kesenangan mahluk tak berdaya macam katak muda.
Tak pernah kuajari kucingku berburu katak muda yang sedang menikmati purnama. Tak pernah terpikir olehku untuk memperingatkan kawanan katak di ujung jalan supaya waspada kalau kalau kucingku menerkam.

Bagaimana dengan serigala penyerang domba. Bahkan anak anak kecil sudah menganggapnya wajar. Serupa elang menerkam anak ayam atau kelinci kecil, keduanya lembut, tanpa dosa.

Seperti aku ingin menerkammu, bergelayut di punggungmu, memeluk erat lehermu, menyentuh bahumu dengan bibirku, menggigit tepian daun telingamu. Pasti, tak ada sedikitpun niatku sungguh sungguh memangsamu. Aku cuma ingin sedikit atau banyak bergembira, main main macam anak kecil, bersuka ria, tertawa keras mendengar kau memekik sambil terlonjak. Jangan kesal. Aku tak sekejam anak anak kucing ketika mempermainkan anak burung yang terjatuh. Jauh sekali bedanya.

Ini makin tersesat makin berkilat.

Foto foto tua menatapku bangga. Aku tidak ingat pernah berjasa. Aku bahkan lupa pernah mnyelipkan hari hari tenang di saat aku terlalu lelah berbuat onar. Suara suara terus saja bicara, telingaku keras kepala, rapat membungkam kata.

Itu bukan alasan untuk apapun. Ada terlalu banyak mahluk mirip aku.
Purnama sempurna atau tidak sempurna, kucingku tak merasa bersalah.
Katak muda, anak burung dan tikus kecil masuk surga di lidah kucingku*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar