Sabtu, 24 September 2011

rupa awan

Awan berubah setiap saat di mana mana. Tidak perlu heran kiranya mata ini suka memandang bentuk bentuk yang selalu terlihat tak sama dari waktu ke waktu. Jadi leher sering pegal gara gara terlalu kerap mendongak ke atas, ke arah gumpalan putih yang mahir menggambar teka teki. Tidak seperti kaki yang selalu meninggalkan jejak yang sama dari seseorang.
“Kalau mau jejak yang berbeda ganti saja alas kakinya.” Kau selalu bisa menemukan kalimat tepat. Bukan benar, tapi tepat. Kau tahu bedanya, benar dan tepat. Benar seperti matahari, tepat semacam mata hati.
“Dua duanya tidak penting.” Ughh…tepat sekali. Apa yang penting saat bersamamu adalah mengacuhkan matahari dan memejamkan mata hati. Menggunakan mata yang sebenarnya mata. Dua benda bundar berlensa menempel pada wajah, kiri dan kanan, penuh jaringan syaraf yang mengirim dan mengantarkan kesan ke otak, untuk melihatmu yang diciptakan dengan sangat hati hati.
Kau juga tahu menciptakanmu tak bisa dikerjakan asal asalan, mesti sangat serius, memusatkan segenap pandang, angan dan kehendak. Untuk membuatmu sungguh dekat dengan apa yang selalu kuharapkan. Harapanku memang terlalu tinggi, Mengalahkan tingginya awan.

Tidak, aku tak bisa menggunakan pengandaian yang lain. Hanya angin, awan, tanah, debu, batu batu, kadang kadang salju. Kau boleh saja beranggapan aku membosankan. Peduli setan. Aku toh tetap menikmatimu sepenuh hati.

“Tempat apa ini.”
“Seandainya aku tahu.”
“Seperti neraka.”
“Kalau surga, seperti apa.”

Sesaat kemudian kau sungguh sungguh menunjukkan seperti apa surga. Tak  ada matahari. Batu batu melembut, debu menyala, awan berwarna, angin tertawa. Saljunya rasa es krim.
“Sayang, aku seorang iblis, bisa meleleh lumer bila terlalu lama berada di surga.”
“Pejamkan saja matamu, ikutilah mata hati menemui matahari.”

Kau tak pernah ingin menahanku. Kau tak ingin membuatku bahagia selamanya di surga.
“Aku tak mau kau mati.”
“Mati di surga sangat sempurna.”
“Cuma kau yang sempurna, tanpa kematian, tidak di surga.”
“Bisakah kaubayangkan betapa bingungnya para malaikat melihat kita.”
“Sudah sering.”
Hahahahahaha…
“Akan kubuat segenap malaikat semakin hilang akal, biar mereka putus asa, meninggalkan kita, mengadu kepada tuannya.”
“Hmm…?” Kau mengerti satu kata bermakna sejuta tanya yang jawabannya berputar, berkedip kedip, bersiul nyaring di sekitar kepala.

“Para malaikat akan menyerah, bersimpuh di hadapan tuannya, kehilangan kata kata. Tak ada lagi yang menjaga kita, tak ada yang membisikkan rayuan atau petuah, tak ada yang mencatat dosa atau amal, tak ada yang mengantarkan kutukan atau berkah.”

Matahari ternyata tak mudah menyerah, nekad kembali di pagi hari, mungkin bertanya pada angin tentang celah celah, jalan rahasia untuk memasuki ruangan di mana kau dan aku berbaring dengan mata terbuka lebar setelah perbincangan tak berujung tentang rasa surga di neraka. Kau yang sudah mahir berkelit dari cahaya segera menutup mata. Aku tak punya naluri melarikan diri segesit yang kaumiliki. Mataku mengerjap ngerjap perih  tertusuk sinar yang menyusup dari setiap celah. Kulihat serupa garis garis empat dimensi dengan debu debu tajam menyerbu ke mataku. Tak pasti aku mengeluh atau melenguh, cukup panjang dan dalam namun tanpa suara.

Telinga kelelawarmu mendengarnya. Keluhan atau lenguhanku yang membuatmu jatuh kasihan padaku, menghentikan larimu, bergerak kembali ke arahku. Matamu tampak sangat dekat, bulat dan luas, menatapku iba.
“Pulanglah.”
Tak ingin kukatakan apapun yang mungkin bisa membuatmu salah sangka, mengira aku ingin beranjak atau memaksa tinggal di tempat yang tak seharusnya. Aku hanya tak ingin melepaskan keadaan ini apa adanya. Saat saat kau merasa bisa sesukanya memindahkan neraka atau surga di tanganmu yang terkulai di pinggangku.

Matamu membaca isi kepalaku, setiap harap, cemas, jengah, senang, setiap kata kaueja, tak satu titikpun terlewat.
“Pulanglah, ke surga, atau neraka.”
Aku hanya mendesah, entah lega atau kecewa melihat senyummu merekah. Bukan di bibirmu saja, matamu tersenyum. Kau mungkin berdusta waktu berkata tak suka pagi. Atau mungkin kau…
“Berhentilah berdebat dengan dirimu sendiri. Pulang saja ke manapun arahnya.” Kau masih membacaku.

Kupaksa tubuhku bangkit, meninggalkanmu yang rebah. Kau mulai menggeliat seperti kucing, kulihat sungguh nikmat setiap sendimu meliuk, mematahkan garis garis cahaya, mengacaukan barisan debu yang beterbangan di dalamnya. Beranjak menuju jendela dengan langkah berat, cepat cepat kurapatkan semua tirai, kututup setiap celah yang jadi jalan cahaya. Kau menatapku dengan pandangan semakin iba, seperti tatapan ibu kepada bocah lelakinya yang baru saja kehilangan layang layang pertamanya.

Seakan akan di sisimu aku segera kembali. Kau sudah berpakaian, berkemas, meninggalkan ruang. Secepat dan seringan gerak anak kucing. Kau berlari menjauh. Sepertinya lewat sebuah lubang di bawah pintu, jalan keluar masuk kucing kecilku yang sudah tiada sebulan lalu. Seekor anjing besar kepunyaan tetangga menggigitnya sampai mati. Kucing kecilku memang ceroboh, keluyuran seenaknya seolah olah tak ada bahaya di seluruh dunia. Anak kucing pemberianmu. Kuharap kau kembali malam nanti. Walaupun aku tahu kau telah berbohong tentang matahari atau matahati.

Aku tak ingin bertanya lagi. Pagi hari waktu menyibukkan diri, kertas kertasku masih berserakan di seluruh penjuru ruang. Aku harus buru buru, mestinya tak punya kesempatan bertanya lagi. Apalagi pertanyaannya telah sangat lapuk, usang, teramat sering diulang ulang setiap hari.
“ Apa salahnya menyayangi seorang bajingan?”
Awan awan di balik jendela pasti telah berganti rupa*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar