Kamis, 22 September 2011

rumah jamur

Kita tak perlu mengunjungi tempat hiburan untuk merasa senang. Tak perlu ke rumah bordil untuk sekedar bisa mabuk dan tertawa tanpa sebab. 

Rumah bordil adalah istilah masa lalu, kalau kata beranak pinak, bar semacam cucunya. Istilah yang terdapat pada film film koboi kegemaran kakekku. Aku pernah punya kakek. Seorang lelaki tua yang menghabiskan waktu senggangnya sepanjang hari dengan duduk di hadapan televisi sambil mengayun ayunkan rotan berumbai untuk mengusir nyamuk nyamuk yang menganggapnya penting. Nyamuk nyamuk yang menghabiskan hidupnya berputar putar di sekeliling kepala beruban setengah botak. Lelaki tua itu jelas seorang kakek, begitu beliau kusapa, meski sudah pasti ayahku bukanlah anaknya. Karena ayahku bukan ayahku maka aku bukan cucu lelaki tua yang kusebut kakek. Silsilah keluarga membuatmu jengah, aku sangat suka bagian dirimu tentang itu.

Sebab aku tumbuh macam jamur, tak berakar, tak ditanam, menjamur di musim hujan. Jamur jamur yang menjamur, menempel pada kayu kayu lembab yang menyerap air berlebihan. Jamur jamur berbentuk unik, menjadi buah bibir padahal tak ada buah pada setangkai jamur, atau sekuntum jamur. Bukan dosa meminjam keterangan kata kepunyaan bunga. Mereka menemukan jamur jamur lucu di tengah hutan, menumpang hidup di pangkal pohon pohon besar, seringkali berwarna merah berbintik putih. Saking cantiknya sampai sampai banyak yang berkhayal mahluk mahluk mungil tinggal di dalam jamur, menjadi rumah atau tempat kediaman mahluk mahluk kerdil berumur panjang atau peri peri kecil bersayap transparan.

Kausuka membubuhkan gula berlebihan pada minuman hangatmu. Untuk melupakan ingatan pahitku, kaubilang. Mana bisa, kaulupakan yang bukan ingatanmu. Kau selalu mengada ada. Membuatku menggigit bibir memikirkanmu.
“Bukan karena aku kau menggigit bibirmu.”
“Karena memikirkanmu.”
“Berpikir.”
“Aku bosan dengan topik itu.”

Bosan selalu awal kesenangan, beranjak, meninggalkan ruang. Kau membawaku, kadang kadang di lenganmu, kadang kadang di dalam kepalamu. Yang belakangan membuatku kehilangan selera makan. Itu lebih bagus dari pada rakus. Aku selalu kelaparan pada selera makan, bukan makanannya.

“Cobalah berpikir jernih.”
“Darah itu merah, meski kau bukan jendral. Bisakah disuling atau disaring sampai jernih ?”
“Nikmat kan…”
“Apa ?”
“Kalimat pengkhianat.”

Hanya yang berjanji setia mampu berkhianat. Bukan salah bunda mengandung, salahkan saja ayah yang jatuh cinta. Kekanakan sekali kita. Tanyalah kepada tanda tanya di akhir kalimat. Dia mestinya tak menjatuhkan setitik bagian dirinya yang bikin manusia mengaitkan sebab akibat.

Kau dan aku tak pernah berada di dalam satu ruang kelas, tak seharusnya bertukar ilmu. Membuat kita berdua menjadi sepasang manusia setengah waras. Tumbuhan diciptakan beraneka ragam supaya manusia menemukan kenikmatan tidak melekat pada pengkhianatan. Percakapan kita selalu serupa asap gaharu, mengundang hantu hantu datang mendekat, berkumpul, duduk melingkar, mendengar dengan hikmat, mengalihkan perhatian mereka dari kodratnya mengecoh kaum pengecut yang sedang berjalan sendirian di tempat gelap.

“Tidak seru kalau tak ada yang ketakutan.”
“Apa bisa lebih seram darimu.”
“Hahahahahaha…ssttt, jangan katakan, nanti mereka tersinggung. Hmm…hahahahahaha…”

Aku tahu apa yang kaupikirkan, sebagian. Di antaranya kenyataan bahwa mereka yang berjalan sambil membusungkan dada di keramaian biasanya adalah yang berlari paling kencang ketika mendengar derak dahan patah di tempat remang dan sunyi. Adalah sebuah keberuntungan jika celananya tak sampai basah dan berbau pesing. Mereka bisa saja berlari terbirit birit hingga terkencing kencing.

“Tidak baik mengejek yang tak punya nyali.”
“Oh, baiknya kucarikan seutas tali untuk menggantung diri.”
“Di pohon cabe.”
“Tananam tak pernah salah.”
“Tak sama dengan selalu benar.”
“Kau menghujat tuhan.”
“Aku bertaruh dengan setan.”

Aku adalah taruhannya, iblis betina dari neraka. Kalau kau menang kita bisa jalan jalan di atas air. Jalan jalan di tempat di mana tanah terlalu rendah. Diam diam aku sering berpikir betapa beruntungnya ikan ikan yang hidup di sana, selalu tersedia banyak bangkai untuk dimakan. Kalau kau kalah, aku harus menyerahkan segalanya kepada tuhan. Aneh sekali, aku tak pernah mengerti lebih rinci apa saja yang bisa menyebabkan aku menjadi seorang dewi atau seekor binatang peliharaan. Sebenarnya tak ada bedanya, keduanya kafir dan dungu.

Saat ini penghujung musim panas. Angin bertiup kencang menggerakkan ranting ranting, merontokkan daun daun. Awan putih keperakan berpindah dari bagian biru langir yang satu ke bagian biru langit yang lain. Serupa jari jari tanganmu di tubuhku. Belum juga kutemukan kalimat yang paling mendekati kenyataan, tentang kita dan perbincangan yang mengalir di dalam kabel, merambati kawat kawat bertegangan tinggi. Kalimat kalimat penyala atap kota, tapi bukan tentang kita.

Kau dan aku mungkin anak anak siang yang menikahi malam tanpa restu tuhan. Tapi, siapa menceritakan kisahnya. Rumah bordil, senapan, peluru, segelas besar bir warna emas, busa busa di puncak gelas atau di sudut bibir. Mungkin kuda kuda di luar, atau rumput dan jerami di rahangnya.

Tubuh kakek tiba tiba terguncang seperti ada malaikat baru saja menepuk pundaknya. Anjing berbulu coklat menatap aku dan kakek bergantian dengan mata ramah, namanya bonnie. Aku kembali terjerat padamu,”Hey…honey bunny…” Aku masih selalu menebak nebak binatang kesayangan yang kausapa mesra, anjing coklat atau kelinci putih. Kau lebih suka menerkam atau melompat. Aku sangat ingin terbang ke tengah hutan di musim hujan*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar