Jumat, 16 September 2011

sisa purnama


Sisa purnama tertinggal di wajahmu berpendar di kala pagi pura pura pongah melupakan malam. Menyejukkan siang terik di kaki para pejalan yang menemui bangunannya menjadi puing. Kota menyerah, lenganmu layak jadi tempat bersandar kepala berasap, kepulan harap terbakar. Mereka membutuhkan setiap bulir dari matamu membasahi retak bibir. Lubang lubang jalan rindu diisi penuh.

Matahari ingin melukis pelangi waktu awan memutih terbang menjauh, angin mengacuhkan gerah. Matahari boleh menangis menyadari tak sepasang matapun mengabaikan lagu lagu bersyair getir yang kautiupkan lewat sebatang bambu. Sebatang bambu bagian dari daun pintu, bingkai jendela, meja makan, kursi goyang, pigura, penopang langkah, kandang ayam, pengiring kawanan bebek menyusuri parit parit berair jernih. Sebatang kokoh dan lentur yang menjelma tongkat sihir kuayunkan untuk kaudatang, menyalakan lagi senandung serangga, suara parau katak bersajak, lengking nyanyian jangkrik nyaring mengoyak sunyi.

Matahari terpana. Malam malam merdu di wajahmu tak terganti pagi*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar