Rabu, 05 Januari 2011

maitasuna

Aku mohon, jadikan aku pengkhianat paling laknat, agar dendammu menyala. Membakar rumahku, tak bersisa. Agar aku tak pernah bisa pulang. Berkelana, kau mengejarku ke manamana.  Bakarlah semua tempat yang pernah kusinggahi, jejakku api. Berkobar, mengenyangkan setansetan. Aku terus berlari, sembunyi, berlari lagi. Akan kudatangi kau malammalam, melumat hasratmu dalamdalam, mencuri mimpimu diamdiam. Paginya, dendammu kian terang, meradang, menghadang di sembarang jalan. Aku berlari lebih kencang siang hari, menghantui lebih kelam saat malam. Aku ingin pastikan, cintaku akan membunuhku dengan cara paling kejam, paling menghujam*

laska

Aku lelah, ingin rebah pada punggungmu yang berduri. Mungkin kau tak tahu aku mulai ragu, bahwa darahku telah beku, tak lagi mengalir menandai luka. Padahal kau bilang, kau mencintai luka. Luka pertanda ada denyut, hangat, terbentang lembut untuk taringmu menembus. Bukankah aku hanya hidangan yang menunggu waktu.

Aku ingin kau berjanji, akan sungguh menyantapku, suatu hari nanti*


devian

Seekor paus terdampar di pantai kota sebelah. Kulihat dia merana di halaman Koran pagi. Aku mendengar tangisnya, ratapannya, ketakutannya, segenap pertanyaan yang memenuhi benaknya. Kenapa tuhan menciptakan pantai. Lebahlebah mendengung dalam kepala, aku sangat gerah, butuh air untuk membasuh wajah.

Aku pergi ke kamar mandi, mataku berdarah. Seorang lelaki tua terdampar di sana. Seperti seseorang yang pernah menjahitkan tas sekolahku. Air mengalir dari matanya, menggenangi lantai kemar mandi, kulihat seorang gadis kecil sedang menggigit sebutir apel,  menatapku, perahu layar, burung camar, sebuah buku. Aku terus menangis, lelaki tua pipis di atas lututnya yang luka.

Aku tak tahu kenapa paus terdampar di kota sebelah, aku tak tahu kenapa kamar mandi menjadi hutan yang terbakar. Aku hanya ingin pulang ke dalam sebuah cerita, memakai kalung manimanikku lagi, gaun hijau muda, dan kau berkata, tak ada yang lebih berharga dibanding keluarga.

Aku ingin menggendong ikan paus, membawanya pulang ke kamar mandiku, menanyakan kabar ibu.  Agar lelaki tua bisa pergi berlayar ke tengah samudra, menjaring bahagia.  Lalu kau boleh pecahkan kepalaku, ada banyak madu menggenang di situ, untukmu, setiap tetesnya, madu itu untukmu. Biar lebahlebah menyengat leherku*

merayap terbang

Suatu hari kau mungkin akan merasa ngeri saat mengintip dari jendela, aku sedang menggerogoti meja. Berisik sekali bunyi gigi beradu dengan kayu. Rahangku ngilu. Kupikir kau harus melototkan mata sebelum bertanya, aku sedang apa. Apa kau tak punya mata, jawabanku tak kaudengar, aku sedang mengunyah meja kayu, mana bisa dikerjakan setengahsetengah. Jangan tertawa.

Kau mendekat menyentuh punggungku, aku masih terus menunduk, sudut meja pada bibirku. Kau dengan semenamena menarik pundakku, sampai aku berdiri tegak, meja mencuat miring, mengikuti rahangku yang tegak. Gigiku menancap erat.kau berteriak. Mungkin juga memaki berulang kali, aku ingin meninjumu. Kau pasti tak tahu betapa berat aku mengangkat meja dengan gigi. Tapi sudahlah biar kulanjutkan kerjaku. Aku senang kau berlari ketakutan.

Kupikir suatu hari aku akan menulis surat padamu, setelah menghabiskan mejaku. Meski aku jadi bingung dengan alas apa nanti aku menulis. Lagipula saat mejaku habis aku mungkin cuma bisa memakan kata, melahap kertaskertas, bukubuku dan diktat, bukan membaca atau menulis lagi. Maka dengan berat hati aku melepaskan gigitanku pada ujung meja. Kutancapkan kabelkabel computer yang tadi telah lepas berserakan, kunyalakan, loading, loading, loading, akhirnya aku mulai mengetik. Tik.Tik.Tik bunyi hujan di atas genting.

Aku tak tidur selama sepekan, mataku kemasukan debu yang sangat mengganggu, membuat mataku tak bisa terpejam barang sejenak. Aku jadi resah dan sangat marah. Sementara di luar hujan terus turun, bergantian air dan abu. Tapi aku tak bisa menangis, mataku kering dan kaku, sepertinya sudah jadi mata kayu. Mata kayu bisa memandang semua yang terjadi di hutan cemara. Mata kayu melihat rumah berasap, debudebu mengubur ladang, layanglayang terbakar.  Aku menggerutu sepanjang waktu, tak bisa menangis lagi. Tak lama aku mulai mengutuk mataku, sejak itu aku juga melihat hantu, warnanya mungkin kelabu, atau merah jambu, mata kayu juga suka berbohong padaku.

Tapi hantu itu sungguh cantik, sewangi bungabunga musim semi. Hantu cantik berbisik,” Aduh mata kayumu, sungguh eksotik.” Aku berusaha mendelik, hantu cantik tersenyum genit. “Jangan sengit, kau sedang di kutuk dewa bumi. Kau terlalu sering bermimpi, mimpimu mencintai langit. Dewa bumi tak suka menusia tak tahu diri.” Aku jadi tertarik. Hantu cantik mondarmandir, membuatku sangat ingin tahu. Rupanya hantu cantik juga baik hati, tak perlu kubertanya, hantu cantik berkata, “Kalau tak suka mata kayumu, kau harus makan kayu.” Belum sempat aku mendebat, hantu cantik menghilang.

Maka aku mulai bernafsu mengunyah mejaku yang kayu. Dan mataku semakin mengganggu. Aku memutuskan mengikuti petunjuk hantu cantik, ketika kau memandangku dari jendela sedang mengigit meja. Sekarang kau sudah paham, bisa kulanjutkan makanku.

Semua kembali seperti pada paragraph pertama, kau datang, memandang dari luar jendela, barangbarang berserakan, aku tekun menggerogoti meja. Dari sudut meja aku mulai mengigit. Awalnya terasa sangat keras dan pahit, lamalama jadi terbiasa. Saat kau datang berkunjung, aku sudah lumayan menikmati menuku, meja kayu. Makin lama terasa makin empuk dan sedap. Mirip biscuit dari belanda, rasa cengkeh dan kayu manis. Spekulas, nama yang unik. Meja kayuku tinggal separuh. Aku mulai merasa mataku tak lagi mengganggu.

Aku mengunyah siang dan malam, berbulanbulan, atau berabad berabad, aku tak ingat. Suara kayu beradu gigi jadi musik, menghentak. Kurasakan mataku mengalir gembira, dari lantai kamar sampai ke jalanjalan, melihat yang indahindah, marching band, lambaian kain berwarna cerah, topengtopeng tertawa, bingkisan dan aneka bunga berjatuhan sepanjang jalan, juga segala macam permen dan kue turun bagai hujan, tak ada air atau debu sedikitpun. Meja kayu hampir habis.

Aku tertidur pada gigitan terakhir, setengah bermimpi kutelan sisasisa serpihan kayu. Aku tertidur di lantai, lelap, gelap, lindap. Seperti bermimpi, seperti bernyanyi, seperti menanti. Tik.Tik.Tik. Bunyi hujan di atas genting. Aku baru tahu bunyi hujan semerdu buaian ibu, memaksaku sangat ingin membuka mata. Hanya ada cahaya. Hujan menatapku, bagaimana aku bisa tahu, tak ada lagi mata kayu padaku.

Hujan menatapku, menatap bayangbayang cahaya. “Terbanglah,” sepertinya hantu cantik berbisik, atau suara ibuku yang berkata, entah. Aku tak melihat hantu cantik datang, pun tak kudengar langkah ibu memasuki kamarku. Aku terbang, tubuhku ringan, aku terbang ke arah cahaya.

Aku mendengar kau memanggilku, menyebut nyebut namaku dengan berbagai nada. Aku berputar, tinggi,  mengitari cahaya. Makin dekat, makin hangat, makin terang. “Dia hilang…” Aku mendengarmu. Aku meraih cahaya. Makin hangat, makin dekat, makin terang*


waktu tidur

dinding bisu menunggu, sebelum subuh
pagar rumahmu rapuh, letih mengikuti lampu
pintu terbuka, saatnya kau tidur
di mataku, jejakmu begitu putih
tak terbaca, pun oleh kaca*

mimpi dini hari

Awal musim panas di sebuah desa. Waktunya mencukur domba. Peternak dengan gembira menyiapkan gunting dan pisau cukur, mengasahnya pada sekeping batu granit, hingga berkilat dan tajam. Dombadomba berbulu lebat berdiri berjajar, menanti giliran. Sesaat kemudian,  gumpalgumpal putih berjatuhan di atas tanah. Semutsemut berlarian di sela rerumputan, bulubulu lembut dombadomba bisa membuat semut terluka, parah, mungkin sampai memjumpai ajal.
Peternak bersiul, menggerakkan gunting dan pisau cukur di sekujur tubuh domba. Domba mengunyah rumput, sesekali tubuhnya bergidik geli oleh sentuhan pisau cukur pada kulitnya. Udara terasa sejuk, awal musim panas.  Langit biru cerah.

Semutsemut di sela rerumputan berkabung, masih terus berlarian mencari tempat berlindung. Banyak kerabat dan keluarga semut jadi korban, bernasib sial, punggung dan lehernya patah tertimpa bulubulu domba. Langit biru tak terlihat dari balik rerumputan, tertutup kusam dan putih bulubulu domba yang berjatuhan tanpa henti. Semutsemut berteriakteriak panik, menjerit dan menangis. Suaranya teramat nyaring di hening dini hari.

Aku tibatiba terjaga, jam empat pagi. Serta merta aku teringat pada teriakan semut, kenapa peternak menjatuhkan bulubulu domba di atas rumput, mestinya ada alas terbentang, agar bulubulu domba tak jatuh di atas tanah, tak menyentuh rumput. Mestinya bulubulu domba tak perlu jadi petaka bagi semut.

Aku terkejut saat kudengar suara ribut dari gelasku, teh manis, sudah dingin, tinggal setengah. Segerombol semut mengapung pada permukaan teh. Gundukan hitam kecil, bergerakgerak di atas permukaan air berwarna keemasan, indah. Aku melihat lebih dekat. Segerombolan semut sedang saling berpegang agar tak tenggelam, mereka memandangku, menunjuknunjuk wajahju, aku mendengar ada yang berseruseru ribut, “Cepat keluarkan kami, mestinya kautuliskan tanda bahaya di tepi gelasmu, agar kami bisa berhatihati, tak tercebur dan nyaris tenggelam begini .”

Aku menggosok mataku, masih mengantuk. Siulan peternak kembali terdengar, merdu dan riang*


mimpi siang hari

Pedati berhenti di depan gerbang, orangorang berloncatan dari gerobak kayu. Tubuhtubuh kurus berdebu. Mata cekung berjalan terhuyung. Masingmasing membawa cangkul. Besar dan kecil. Tangantangan kelabu mulai menggali. Tanah merah merekah. Pedati melepaskan tambatan sapi. Tubuhtubuh berdebu basah oleh keringat, melepuh, debu dan keringat bercampur, mengerak lumpur. Sapi merumput, memamah biak, terkantukkantuk. Lubang makin dalam. Tubuh berlumpur terbenam. Dalam. Kembali meringkuk di rahim bumi.

Senja ini, sapi pulang sendiri, tanpa pedati, tak ada yang mati*