Perempuan itu datang setiap kali kubutuhkan. Dia bisa muncul dari mana saja, begitu saja, serupa lalat, semut, kecoa, kelelawar, burung gelatik, elang atau merak. Tiba tiba terbang melintas di atas kepala, kadang kadang hinggap di lengan, pundak atau rambutku. Kadang kadang membuatku menatap kagum, menjerit kaget, bergerak mengibaskan lengan atau menggoyangkan kepala dengan tempo cepat. Lalu diam mengamati setiap geraknya, meniup keras mengusirnya, termenung memandangnya. Satu satunya hal paling masuk akal yang mestinya kukerjakan malah selalu kulewatkan, bertanya siapa dia, dari mana datangnya dan kenapa.
Sama seperti semua orang, aku lebih sering tak menyadari kapan dan apa yang sebenarnya kubutuhkan pada suatu saat. Membuat kehadiran perempuan itu semakin tak bisa kuramalkan.
Sosoknya biasa saja, seperti perempuan kebanyakan, bisa tampil berbeda dengan bermacam macam gaya dan dandanan. Seperti serangga juga, lalat, semut dan kecoa adalah keluarga serangga dengan tampilan berbeda. Atau burung, banyak sekali rupa rupa mahluk termasuk jenis burung. Gelatik, berbeda dengan elang, merak malah lebih unik, ketiganya adalah jenis yang sama, burung. Dan masih ada beribu jenis lainnya serangga dan burung di bumi ini.
Perempuan itu pernah hadir dengan dandanan dan gaya busana penuh warna dari yang norak sampai berkelas. Perempuan hebat, ia bisa menjadi babu sekaligus ningrat tanpa kesulitan. Pernah pula muncul hanya dengan memakai jubah putih pendeta atau hanya mengenakan selembar kain putih lebar melilit tubuhnya, mengingatkanku kepada manusia manusia yang sedang menjalankan ibadah di tanah suci.
Dan aku masih hanya menatapnya atau bereaksi tanpa kata dengannya. Bahasa tubuh saja.
Perempuan itu tampaknya tidak keberatan dengan caraku menanggapi kedatangannya. Kupikir kalau ia tak suka tentu tak akan datang lagi di lain waktu. Perempuan itu ternyata masih kembali datang. Dia juga tak berkata kata, hanya bergerak dan melakukan apa saja seperti lazimnya mahluk mahluk lain sesuai wujudnya.
Lebih detilnya kalau lalat, ia terbang berdengung di dekat mulut dan telinga. Kalau semut ia merambat berputar, berkelok atau lurus seolah tahu arah, sesekali mendekati sebuah benda beraroma manis. Kalau kecoa, ia merayap di dinding atau lantai, terbang sejenak dengan getar sayap yang meninggalkan bau apak. Burung burung juga demikian. Gelatik yang terbang pendek dan ringan dari ranting ke ranting, atau dari kawat ke kawat, dari kabel ke kabel manapun yang menghubungkan tiang apa saja. Sebagai elang ia merentangkan anggun sayapnya lebar lebar, melayang tinggi dari awan ke awan. Merak juga demikian, wajar saja berdiri menegakkan leher tinggi tinggi, menatap dengan mata congkak dambil membuka tutup ekornya memamerkan pola dan warna pada bulu bulunya yang berbentuk kipas besar kepunyaan pemilik istana.
Aku gemar memakai hewan hewan sebagai perumpamaan untuk menghindari kesalah pahaman manusia. Khawatir kalau kukatakan perempuan itu serupa nona atau nyonya ini atau itu akan menyebabkan nona atau nyonya yang kumaksud menjadi tersinggung, lebih buruk lagi mungkin terluka hatinya. Tak baik menyinggung, apalagi melukai hati seorang perempuan lain yang tak tahu apa apa. Perempuan lain yang tak ada kaitannya dengan perempuan itu, yang selalu mendatangiku.
Kurasa tak ada yang bisa kuceritakan lagi tentang perempuan itu. Karena tak ada pertukaran kata di antara aku dengannya. Menceritakan sebuah percakapan mungkin melelahkan, tapi menuliskan keheningan aku tak tahu cara yang peling tepat. Aku hanya ingin segenap penghuni bumi tahu pasti aku tak pernah sendirian. Ada yang bersedia datang menemaniku kapanpun kubutuhkan.
Seseorang yang selalu hadir pada saat dibutuhkan adalah perisai terkuat untuk menangkal kegilaan. Itulah hal terpenting yang harus kuingat dan diingat setiap orang. Sekalipun aku menggunakan wujud hewan ketika mencoba menggambarkan sosoknya, ia tetaplah seorang perempuan yang istimewa. Perempuan yang membuatku percaya bahwa dunia tidak seacuh sangkaanku. Selalu ada yang peduli dan mau memberi apa yang kubutuhkan, kedatangan seorang perempuan hebat di waktu dan tempat yang tepat.
Seandainya suatu ketika aku dan perempuan itu akhirnya bertukar kata mungkin aku akan menyapanya dengan sebutan ibu, bunda, emak, mama, mum, mommy, mother, mutter, madre, atau sebutan lain bermakna sama. Tergantung saat itu perempuan itu dan aku sedang bicara menggunakan bahasa mana. Kubayangkan pasti pembicaraan ringan yang menyenangkan akan mengalir lancar. Aku selalu ingin menanyakan satu hal, entah kenapa, aku asal menebak perempuan itu tahu cara membuat empudang*
baca danarto yuk : )
BalasHapus