Sabtu, 22 Oktober 2011

pecahan piring

Dia membanting barang barang yang bukan miliknya. Seperti orang sinting. Jika diperhatikan lebih teliti ternyata dia masih memilih sebelum membanting, barang barang yang tidak pecah ketika dibanting. Jadi dia tidak sinting, hanya seperti sinting. Berdiri di hadapan setumpuk alat alat dapur kotor. Dia sedang mencuci piring. Sebenarnya bukan hanya piring yang dicuci, semua pernak pernik yang biasa berada di dapur, kotor dan bernoda sisa makanan. Itu yang seringkali kuingat tentang seorang perempuan. Muda, berkulit hitam, bermata dan berambut hitam, paras wajahnya manis kalau sedang tersenyum.  Senyumnya muncul sama kerap dengan kegemarannya membanting benda benda, khususnya alat dapur.

Suara benda benda berkelontangan terdengar cukup nyaring di pagi hari pada waktunya mencuci piring. Sudah kujelaskan bukan cuma piring, segala macam alat masak dan alat makan. Dia memilih membanting benda benda yang tak bisa pecah, bukan piring. Minta ampun berisiknya untuk telinga manusia beradab yang menyukai lamunan dan suasana tenang pagi hari. Adalah suatu misteri kenapa seseorang bisa melakukan hal hal kejam kepada benda benda tak berdosa. Dan anehnya aku tak ingin atau tak bisa mengganggu keasyikannya membuat keributan yang merendahkan martabat. Alih alih menegurnya aku malah tertarik untuk memikirkannya. Tentu saja aku tak bisa melihatnya membanting benda benda tanpa menegurnya, maka aku hanya mendengarkan suaranya dan berpura pura tak mendengar pula, karena sebab yang aneh itu, tak ingin mengganggunya. Aku punya rencana untuk membalas perbuatannya dengan cara lebih kejam, menceritakan tentangnya kepada dunia. Seandainya dia tahu aku bakal menceritakan segala yang kutahu tentang dia, mungkin dia akan berhenti membanting benda benda di dapurku. Aku tak mau itu. Lebih baik dia mengerjakan apa saja yang dikehendakinya agar aku boleh meneruskan ceritaku.

Aku ragu dari mana memulai ceritaku. Aku juga tak tahu pasti suara gaduh dari dapur mengganggu konsentrasiku atau malah memacu semangatku. Seharusnya tak penting lagi memikirkan yang lain selain misiku membalaskan rasa sakit sejumlah panci dan wajan kepada seorang perempuan muda yang kejam.

Kejam mungkin berlebihan untuk menggambarkan sifatnya, aku lebih kejam dengan ceritaku. Tapi ini bukan tentang aku, tapi dia. Dia perempuan muda yang mendapat sebutan perawan tua di desanya. Tunangannya menghilang sehari sebelum acara pernikahan yang telah direncanakan dengan baik digelar. Tak ada yang tahu ke mana perginya lelaki itu, apa sebab dan alasan lelaki itu menghilang. Tak ada yang tahu adalah hal terbaik untuk mencegah tragedi. Kalau boleh menduga aku bisa mengemukakan satu alasan paling masuk akal, lelaki tunangannya menyadari bahwa calon istrinya adalah perempuan yang seringkali bertingkah seperti orang sinting. Tak ada lelaki normal bersedia menikahi perempuan yang tampak seperti orang sinting yang gemar membanting benda benda. Dugaan ini sungguh tak berdasar sekaligus plin plan, mengingat sebelumnya aku juga pernah menduga perempuan itu tampak seperti sinting gara gara ditinggalkan tunangannya sehari sebelum acara pernikahannya. 

Tak jadi masalah besar untuk keseluruhan ceritaku, dugaan sudah selayaknya kalau tidak benar dan sama sekali berbeda dengan kenyataan. Aku merasa mempunyai hak menduga apa saja tentangnya, persis dia merasa bebas membanting semua benda di dapurku.

Ceritanya bisa teramat panjang dan ruwet untuk ukuran seseorang yang bukan siapa siapa seperti dia. Membingungkan sekali kenapa seorang perempuan muda yang tampak seperti sinting bisa memiliki banyak kisah dramatis. Seharusnya hanya orang orang yang dilahirkan untuk terkenal saja yang memiliki kisah kisah unik dan menarik (baca : tragis). Begitulah, kenyataan mahir mengejek logika. Apa gunanya menempuh banyak peristiwa kalau hanya untuk menjadi orang biasa. Apakah layak merancang takdir yang heboh bagi seorang perempuan muda biasa, hanya sebagai aspek psikologi tidak penting yang jadi latar belakang kegemarannya membanting benda benda. Atau mungkin akulah yang justru harus bertanggung jawab tentang dia dan kehidupannya karena akulah yang berniat menceritakan tentangnya.  Setiap orang pasti ingin cerita yang luar biasa.  Bunyi berdenting nyaring dari dapurku mengingatkanku untuk kembali pada ceritaku.

Dia anak bungsu dari lima bersaudara, dua lelaki, tiga perempuan. Dilahirkan di sebuah dusun yang sangat menakjubkan. Sebelum berkunjung ke rumahnya aku selalu terpesona oleh ceritanya. Untuk sampai ke dusunnya harus menempuh perjalanan panjang melewati ladang ladang tandus dan semak belukar. Perjalanan yang berbahaya jika ditempuh setelah matahari terbenam, jalannya curam dan berbatu batu besar, gelap gulita tanpa lampu jalan, yang paling menakutkan tentu saja segerombolan pembegal yang mengintai di balik pepohonan, bersiap merampok siapa saja yang cukup bodoh dan nekad untuk melintas di daerah mereka setelah gelap. Hal lain yang menakjubkan dusun tempat tinggalnya hanya berjarak kurang lebih tiga puluh  puluh kilometer dari dapurku yang aman, terang benderang dan sering gaduh di saat dia sedang mencuci piring. Seolah olah sejauh negeri antah berantah.

Belum usai keherananku segera kudengar ketakjuban berikutnya. Dusunnya sangat kering. Untuk mendapatkan air penghuni dusun harus mengambil dari sebuah sumur teramat dalam. Ditimba dengan galah, bambu paling panjang yang pernah kulihat. Satu satunya sumur air tawar untuk penduduk sedusun.
Perempuan muda itu harus berjalan sejauh hampir dua kilometer untuk menimba air, pulang pergi dari rumahnya ke sumur, paling sedikit sepuluh kali sehari, mengisi gentong air di dapurnya untuk minum dan memasak seisi rumah, dia tak bercerita bagaimana dia dan seisi rumahnya mandi saban hari. Banyak yang lebih penting dari urusan kebersihan badan, misalnya kewajiban memenuhi persediaan air bagi ternak mereka, sapi dan kambing kepunyaan orang orang kaya yang dipelihara orang orang miskin. Kebetulan perempuan muda yang kuceritakan termasuk orang miskin dan dusun itu terkenal sebagai penghasil susu. Sebelum tinggal di rumahku perempuan muda itu memelihara seekor sapi dan beberapa ekor kambing, demi hewan hewan itu dia mesti mondar mandir seharian membawa air, menyabit  dan memikul rumput. Selain semua pekerjaan melelahkan di dusun itu, masih ada urusan lain yang lebih mencengangkan. Aku merasa ceritaku harus lengkap, supaya tak ada yang menduga aku juga sinting membiarkan benda benda di dapurku dibanting beberapa kali sehari.

Walaupun sangat tidak wajar dan terkesan jorok, akan kuceritakan tentang cara perempuan muda itu membuang hajat di dusunnya. Bukan hanya dia, seluruh peghuni dusun akan memanggul cangkul di saat panggilan alam untuk buang air besar tak bisa dielak. Mereka harus berjalan ke tempat sepi yang lumayan jauh letaknya dari kawasan kecil rumah tempat tinggal mereka, menggali tanah kering berpasir, kemudian berjongkok di atas lubang yang baru dibuat untuk menuntaskan hasrat membuang kotoran, setelahnya lubang ditimbun kembali. Aku tak berani bertanya bagaimana cara mereka membasuh pantat. Sebelum mengunjungi rumahnya aku nyaris berpuasa, tak menelan makanan apapun sejak bangun pagi harinya. Mending aku kelaparan dari pada menanggung resiko terpaksa buang air besar dengan cara menggali lubang untuk tempat kotoran. Tanpa bermaksud menghinanya dan segenap penghuni dusun yang menakjubkan, terpikir olehku manusia dan anjing atau kucing bisa sangat mirip suatu ketika di suatu tempat.

Tentang satu hal, dusun itu sungguh menakjubkan dalam arti yang sebenarnya, menakjubkan sesuai standar. Pemandangannya sangat indah. Bukit bukit dan pepohonan, semak belukar tumbuh ranggas di tanah tandusnya, entah bagaimana akar tumbuhan bisa mendapatkan cukup air di sana. Musim hujan adalah berkah besar, penduduk dusun bisa menadah air hujan dan tak perlu berjalan jauh menyabit rumput. Ternak tumbuh lebih sehat dan bahagia di musim hujan. Berbanding terbalik dengan kemudahan membuang hajat manusianya, tanah berlumpr lebih susah dilewati dan digali, berjongkok di atas lumpur juga lebih tidak nyaman. Paling tidak mereka selalu bisa menikmati pemandangan indah sambil buang hajat, yang pasti tidak pernah terjadi di kamar kecilku. Kuakui dengan kecut hati, aku tak tertarik mencoba pengalaman buang hajat sambil menikmati pemandangan indah. Laut terlihat sangat biru, berkilau di celah lekukan bukit bukit kelabu kehijauan. Warna laut biru terang berlapis lapis, dibatasi segaris putih lembut dan samar dengan langit. Jika diamati tampak bergerak pelahan serupa lukisan tertiup semilir angin. Secantik gambar pemandangan latar belakang di atas panggung pada gedung gedung pertunjukan. Menakjubkan.

Kurasa cukup cerita tentang tempat asalnya. Keluarganya tak kalah menakjubkan. Sekali lagi aku punya dugaan kuat seluruh penghuni dusunnya menakjubkan. Tak mungkin kuceritakan semua, keluarganya saja, pasti sudah cukup membuat setiap orang mengerti kenapa suara gaduh di dapurku masih terdengar. Dia mungkin memang perempuan hebat yang kebetulan tidak dikenal.

Ibunya bertubuh kecil, tampak awet muda, gesit dan cekatan, rendah hati, menyenangkan, terlihat pandai dan berkarakter. Sejenis manusia yang selalu mampu melakukan yang terbaik dalam keadaan terburuk. Sosok ibu yang sempurna. Ayahnya sudah lama wafat, konon karena penyakit misterius, tak terobati secara medis. Diduga kuat kematian yang tidak wajar, karena perbuatan orang lain yang tak suka padanya. Bahasa gaulnya di sana biasa dikatakan mati disantet orang. Lagi lagi konon, pelakunya masih saudara dekat. Aku tak berminat bercerita panjang lebar tentang sesuatu yang absurd semacam ilmu hitam dan dendam antar saudara.

Kakak sulungnya, lelaki bermata tegas dan sangat santun ketika bertatap muka denganku. Kakak sulung lelaki selalu mampir saat belanja ke kota atau ikut rombongan pengajian setiap selasa malam. Hingga suatu hari surat kabar lokal memuat berita tentang pembunuhan dengan salah satu cara paling sadis yang pernah kubaca. Korban adalah petinggi di desa sebelah dusun menakjubkan dan masih ada hubungan kerabat jauh dengan perempuan seperti sinting di dapurku. Korban dibunuh setelah dianiaya, pada akhirnya dibakar hidup hidup hingga tewas. Beberapa minggu berselang kakak sulung  lelaki perempuan seperti sinting ditangkap dan ditahan polisi  sebagai salah satu dari empat tersangka pelaku pembunuhan dan penganiayaan.

Proses peradilan pidana yang panjang dan berbelit berlangsung setahun lebih, memutuskan terdakwa si kakak sulung lelaki bersalah dan dijatuhi hukuman enam tahun penjara ditambah denda dan biaya perkara sekian juta rupiah. Sampai di sini, suara gaduh di dapurku tak terdengar lagi. Mestinya perempuan muda yang seperti sinting itu telah menyelesaikan pekerjaannya mencuci piring, sehingga tak ada alasan baginya untuk membanting alat masak dan alat makan di dapurku. Dari semula sudah kukatakan perempuan muda itu hanya seperti sinting, tidak benar benar sinting. Wajar saja kalau dia masih membutuhkan alasan untuk membanting benda. Terlepas dari benar tidaknya perbuatannya membanting benda benda yang bukan miliknya dan mencemari pagi dengan suara gaduh, kurasa bukan perbuatannya atau suara bising dari dapurku yang bikin kepalaku pening. 

Tuhan yang maha adil mungkin membaca ceritaku, memang kacau, lebih kejam dari membanting piring sampai pecah berkeping keping. Di dapurku, cuma kucing yang biasanya tanpa sengaja menjatuhkan piring*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar