Melupakan lapar dan dahaga, dibangunnya tugu dan prasasti di tiap persimpangan. Tanah air mengerti ucapan kayu dan besi, terus menggali membuang keruh demi keruh di ceruk waktu.Kau mungkin singgah, sempat menimbang, menebak berapa banyak endapan. Tapi ia terus menggali hingga lubangnya lebih tinggi, melebihi tingginya sendiri. Tidak berniat menjawab siapapun, tidak mendengar keluh, tidak menanam ragu.
Ia menggali. Semua harus lewat sini sebelum tiba di sebuah tempat yang layak dipuja. Kau keras kepala, malah bertanya, bagaimana kalau tak ingin pergi, aku menantinya menggosok mata. Sampai semua lampu padam. Cangkul melupakan kaul suci menyuburkan ladang. Suaranya lirih saat bertanya apakah kami semua sudah mengingat teriakan di hari kelahiran. Tak ada keresahan di sana, tak ada ingatan tentang bunyi detak pertama di dalam dada.Lubang di hati ibu lebar dan samar, menampung setiap serpih tanah, memenangkan setiap kekalahan, menelan lelah, lelah dan lelah sepenuh getar*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar