Minggu, 16 Januari 2011

taksa

Cinta memenggal kepala kekasihnya, sebelum berangkat berperang.

Tak ingin kekasihnya melihat kebencian
tak ingin kekasihnya mendengar kebohongan
tak ingin kekasihnya mengatakan kesalahan
tak ingin kekasihnya meratapi kerinduan
tak ingin kekasihnya memeluk kehampaan.

Pulang membawa kemenangan, cinta memenggal kepalanya sendiri,
tak ingin kekasihnya mengekalkan dendam pada kematian*

kalam

Kusobek langit malam, kupatahkan rembulan.

Kutorehkan namamu di atas sepotong langit dengan ujung patahan bulan.

Tanganku berdarah tergores cahaya, merahnya tak jadi noda di potongan langit, tapi kudengar angin menangis, mungkin tak rela, atau lupa, kalam cukup satu nama*


untuk puisi

Katakata terhampar di tepi airmata, persis pasir di bibir samudra. Sepanjang waktu berharap ada tangantangan singgah, bermainmain di teluk, membangun istana pasir lebih megah dari kemarin.  Istana yang kemarin runtuh diserbu ombak, menjadi buih ketika kau mengaduk segelas kopi temanmu menulis puisi.

Lihatlah aku menulis seperti anakanak baru jatuh cinta. Berjalan di toserba sesudah hujan reda, sambil berpikirpikir hadiah apa yang layak kuberi untuk ulang tahunmu yang akan datang, seabad yang akan datang. Bonekaboneka seakan menatapku, iba, tak bisa menahan diri  tak menggoda, kata mereka mataku sebinar bintang di puncak pohon natal.

Mimpikah waktu, tahutahu telah tiba di ujung tahun, tinggal selembar saja kalender tergantung di dinding. Angkaangkanya seolah tak berhenti menertawakan setiap tanda silang merah yang kulingkarkan pada harihari ketika aku menangis karena gerimis menghalangi mataku menatap langit.

Aku tahu katakata selalu terhampar di tepi airmata, tak akan pernah habis meski kusiasiakan untuk menulis bermilmil surat cinta rahasia. Akan selalu ada pasir di tepi samudra untuk membangun tak terhitung istana impian, di sana aku akan kaubawa, pada hari yang angkanya belum kutandai warna merah, di tahun yang dibisikkan mendung sebelum hujan jatuh dalam pelukan laut* 

duh...

Malam tak pernah cukup panjang untuk menulis puisi, pagi
keburu datang membuka mata, mengajari
batubatu membaca jejak embun, daundaun
mimpi layu terinjak sepatu.

Siang tak pernah mengembalikan bayangbayang
wajahmu hilang tersapu waktu*

'putri tidur'

Kopi sedingin malam di luar jendela. Kudengar langkahmu mengetuk hening. Seperti kepulangan kucingku dari berkelana. Aku teringat ceritacerita dari getar kumisnya, tentang pertengkaran berebut kepala ikan demi seekor betina cantik. Entah sudah berapa kali kebodohan berulang untuk sebuah hati, masih percaya seteguh karang tentang kasih sayang yang terbuang di selokan.

Gerobak sampah menjelma kereta kencana, mengantar seorang putri ke gerbang istana. Kurasa mimpi putri itu terlalu indah hingga tak ingin terjaga. Jangan sedih ayah, teruslah tertawa kakak tersayang. Aku tak lagi menangis kesakitan, tak akan pernah menangis lagi. Akan kuberitahu kalian, gerobak sampah adalah tempat orangorang kaya membuang hati dan mimpi, hati paling hangat, mimpi paling indah bertumpuk di dekatku. Kini aku punya bantal paling empuk, selimut paling lembut. Tak ada alasan untuk tak bisa tidur pulas.

Kucingku yatim piatu sejak bayi, sepasang tangan menculiknya, ketika induknya mengunjungi tempat sampah tetangga mencari makan tambahan. Sepertinya dia punya beberapa saudara yang tercerai berai, entah ke mana. Aku menemukannya di tepi sungai dekat muara, mengeong nyaring, dingin dan lapar. Anakku meminta kubawa bayi kucing pulang, anakku mau berbagi makanan, tempat tidur, selimut dan pelukanku, dengan seekor bayi kucing. Aku selalu membuang tangisku ke laut, seperti anjuran tuhan dalam sebuah lagu yang dinyanyikan anakku. Tempat sampahku penuh kotoran anak kucing, duri ikan, dan kertas bergambar matahari dan pelangi. Tempat sampah paling wangi di komplek perumahan kami. Anak kucing mengais ingatan tentang induknya sambil berayunayun di dahan pohon srikaya.

Seharusnya ayah tak membawaku naik kereta api, andai ayah berjumpa dengan ibu peri yang baik hati. Ibu peri pasti mengayunkan tongkat sihirnya, merubah bayi kucing jadi kuda jantan dewasa, gerobak sampah sungguh kereta kencana. Ada kusir duduk di kursi depan, mengendali kuda supaya baik derapnya. Ayah, kakak dan putri duduk di belakang, menikmati perjalanan, tamasya yang menyenangkan, mungkin di tengah jalan kelak berjumpa pula dengan ibu yang sebenarnya. Ibu yang mencintai ayah, kakak, dan putri yang tertidur seribu tahun. Ibu tak membuang apaapa ke dalam tempat sampah selain katakata, bilakah kecoa bisa membaca, aku bertanya, tersenyum membayangkan kecoa berkacamata jatuh cinta pada katakata.

Tempat sampah meledak, marah atau tertawa, kurasa sama saja. Meledak, orangorang tersedak, sesak. Sekarang orangorang mungkin tahu apa artinya meniup mimpi tak habishabis ke dalam bola dunia. Anakanak kucing beterbangan, duriduri ikan berlarian, kecoa hinggap di setiap jendela, burung kakak tua kebingungan, berteriakteriak pula, memanggilmanggil nama putri yang terlelap. Hanya seribu tahun mungkin tak lama, sebelum ibu peri membangunkan pangeran dan naga, biar berperang memperebutkan hati sang putri. Seharusnya masingmasing memiliki lebih dari satu hati, biar tak jatuh korban perang di tiap sudut bumi.

Aku berdiri, meninggalkan gelas kopi sedingin malam di atas meja. Kuceburkan diriku dalam tempat sampah di dekat jendela, dalamnya tak berdasar, ada hujan salju tak putusputus jatuh. Inikah rasanya menyayangi maut. Kabut,puncak gunung, bersama laut berebut menjemput. Menyurutkan takut. Seperti sepenggal paragraf yang tersesat di luar angkasa, melayang menjauh tak tentu arah. Surya tenggelam dalam sajak, gambargambar pelangi luntur warnanya mengotori awan. Namamu masih kugenggam. Monster merah, ternyata benarbenar ramah, tak lagi mencuri jerit ketakutan putri. Katak hijau berceloteh tanpa henti, membacakan berita hari ini. Aku tak tahu di mana ayah menemukan televisi yang baik hati, dari tempat sampah di rumah siapa. Kudengar gerimis mulai berbisik memanggilku lagi.

Kulihat gerimis bersama gerobak sampah melintas di depan rumah, mengangkut banyak berkah untuk hati dan mimpi, untuk putri dan semua anakanak kucing di bawah langit . Tak ada yang menangis lagi*


kuku kecil

Anak kecil menggunting kuku di seberang mesjid. Debu, daki, dan upil berjatuhan bersama sayup doadoa dari pilarpilar di seberang jalan.

Siang hari, angin mengajaknya bermain, berayun di lengan rumput, riang berjalan sampai ke pinggiran kota. Sebagian tersangkut di rantingranting, selebihnya melekat di daundaun pintu. Terbaring diam menunggu gelap mengepakkan sayap di punggung rayap. Selebihnya duduk tenang menanti kunangkunang datang menjemput angan.

Anak kecil tersentak, adzan berseru nyaring, ujung jarinya berdarah, tergunting tak sengaja. Anak kecil tak menjerit, tak menangis. Menatap langit, anak kecil memungut satu patahan kuku yang terjatuh di jari kaki, kusam, sedikit merah memudar, dilontarkannya ke atas, seakan membidik sepotong awan yang kesepian, jatuh kembali di rerumputan*

kepada cinta

Kuminta bunga mengatakan cinta.
Bunga tak punya bahasa.
Cinta menggelayut manja pada putik, benang sari menari,
kelopak bunga memeluk angin, wangi warna udara.

Kuminta sekali lagi, katakan cinta padanya, bunga
sebelum embun beranjak, kuingin pesanku terbawa cahaya.
Kepada mata, kening, dada dan lengannya melambai
secerah pagi terhangat di musim hujan*