Senin, 10 Januari 2011

dua puisi buat sungai dan sahabat

Puisi Rose Widianingsih
Harian Global
Saturday, 04 December 2010

Api di Mata Ikan

Tubuhku kayu, matamu api. Udara dingin adalah ruang kita, saling membakar kesunyian yang meriap riang. Melentik lidah-lidah api dari atap rumah bocor. Musim kemarau, suara-suara semakin parau. Ini saat yang tepat membaca ledakan dari sebuah selang. Dan, serpihan perlahan menghilang, pelan berjalan, hutan itu pergi meninggalkan kita dengan kenangan bau musim hujan yang menyengat.

Dan aku terpaksa memahami sebuah musim yang keji. Ikan-ikan lahir tanpa sirip dari dinding akuarium. Anak-anak menggambar bulan tanpa senyum. Cuma tahu belajar menghitung, menghitung abu yang berhamburan dari reruntuhan perut ikan. Rumah itu tak lagi bocor, kita sudah melantakkan seluruh atapnya, bersama deru angin malam. Kulihat matamu berenang di selokan-selokan, menggandeng mata-mata ikan dan serpihan kayu di tubuhku.

Belum selesai, kita belum sampai pada kota yang mencari-cari kita. Kita belum berani berkata-kata pada mata anak-anak yang menghitung reruntuhan perut ikan di sepanjang jalan-jalan kota. Anak-anak yang bermain-main dengan tubuhku, pada malam-malam bermata tajam, malam-malam yang membakar bulan di mata ikan.

Pasuruan, Agustus 2010



Dusun

Kesunyian itu bersiul lagi malam ini. Berputar-putar bersama lampu pasar malam di sebuah dusun. Tak ada rumah susun di sana. Tak ada pohon tumbang. Semua tanah bebas menumbuhkan cahaya. Kicau pungguk riang, seolah bulan telah duduk di pangkuan. Bayang-bayang wajah langit mengapung pada rumput, bersama getar sayap-sayap capung. Tak pernah lelah menyulam benang-benang dari liur pohon.

Pohon-pohon itu haus, akarnya menjulur, serupa belalai gajah mencari sungai, serupa belalai kumbang mencari kelopak bunga-bunga. Kesunyian itu tak punya hidung, namun tercium olehnya jejak airmata.

Dengan sayap-sayapnya, kesunyian mengepakkan bunyi sayap kelelawar di punggungmu. Mengikuti ranum buah-buah di halaman yang memudar. Kau tahu, kesunyian selalu mahir mengenang. Memperdengarkan bunyi hujan dari genangan lumpur. Aku tak henti mengukur jauh jarak terentang di antara siang dan malam, di antara bunyi tik tok jam dinding dan detak jantung. Hingga kesunyian tertidur dalam bunyi dengkur dusun. Jendela-jendela rumah susun terbenam dalam senyap, terkubur deru mesin-mesin disel dan warna-warni lampu komidi putar.

Kucoba membangunkan rindumu dengan sedikit kesunyian yang menggenang di mata rumput.

Pasuruan, Agustus 2010


http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=50931%3Apuisi-rose-widianingsih&catid=45%3Akalam&Itemid=69

Tidak ada komentar:

Posting Komentar