Kamis, 17 November 2011

bebal

Kuminta ijin untuk terombang ambing selamanya. Gelombangmu terlalu sejuk untuk kuingkari. Kau mengayunku seiring ratusan lagu, mungkin lebih, tak kudengar ketika mataku terpejam.
Jangan biarkan seorangpun penyelamat mendekat. Aku tak ingin disentuh yang lain selain buihmu. Meski asam mengeruhkan mata, tak kurang sejuknya menyentuh lidah.
Aku tahu banyak macam kebodohan, dengan senang hati mau jadi segala macam kebodohan tak termaafkan. Kalau aku gagal, setidaknya aku telah menjadi salah satu kebodohan paling sederhana.. Cukup kepintaranmu untuk kesimbangan seluruh dunia.
Aku hanya mau terus terayun di buaimu, sampai udara kehabisan daya menggerakkan permukaan air yang memenuhi semua cekungan tanah.

Jika tak kauijinkan, aku akan berkeras kepala menenggelamkan diri di laut mati*

Jumat, 11 November 2011

petir

Kaubelah angkasaku, kauretakkan kelabu. Kautitipkan coretan yang harus kutulis berulang hingga habis ingatanku. Hingga aku sungguh tahu bahwa sekejap bukan konsep waktu atau suaramu, tapi aku. Mengarang nada nadaku untuk meniup mataku, agar kukenali tubuh hangusku akan segera runtuh.

Kau terang, menyala, membutakan, menjadi penanda awan pernah mengajariku mencintai kehilangan di sekujur tubuhnya sendiri demi kecipak kaki anak anak dekil, denyut lumpur, dan nyanyian parau katak. Sekejap bukan sia sia, sekejap lebih cemerlang dan panjang dari usia langit yang selalu tak mengenal berpasang pasang kilat mata mengoyak wajahnya*

radius


Sebelum berlari, ia telah menenggak tetesan yang ia tadah, entah hujan atau bualannya sendiri.
Gelasnya masih hangat, mengenang bibirnya ketika tersentuh bening yang kekal.
Ia tak sempat bertanya tentang kecepatan atau tujuan kepada rasa manis yang menempel pada ujung lidahnya. Ia hanya ingin meninggalkan igauan merahnya, berlari menggapai ruang ruang pengkhianat.
Ia mau mendatangi yang hilang, yang kulupakan, namanya, aroma lehernya dan muara bersuara jernih dalam mimpinya*

Senin, 07 November 2011

akhir tahun

Gemerincing di kantong jaketmu ingin mengalahkan angin. Mengalahkan yang tak bersuara dan kulupakan aromanya. Keluar masuk celah kayu, kerah bajuku, jeruji pagar. Lima langkah lagi kutabrak tiang besi dengan lampu menyala terikat di puncaknya. Aku terhuyung. Udara di kantong jaketmu suaranya teramat pilu. Lebih pilu dari arak paling bijak.

Tanyakan pada gembel gembel itu apa artinya hangat. Selimut bulu domba, kantong tidur, permadani terbang, rembulan, mereka tak kenal senyuman yang merekah di bibirmu melihat kupu kupu meloncat. Kupu kupu belajar tak memakai sayapnya untuk berpindah tempat. Ujung lidahmu menyentuh malam. Menjadikan gelap segenit cahaya lampu yang baru jatuh di punggungku. Akhirnya bisa kubuat bengkak di atas batang hidungku. Membulat dan berpendar rupanya, datang mendahului fajar.

Gemerincing di kantong jaketmu terus bernyanyi mengenang masa kecil. Mengenang fajar yang sama terbit di lututmu waktu kau terjatuh. Kau telah mahir berlari dan kutanyakan bisakah semua menyayangi satu jiwa. Harapan sia sia. Kau sangat pintar, aku menggigil. Urung kucabut pecahan kaca dari tanah. Tiang lampu, silahkan mengejekku, kupersilahkan tempat dan waktu menghabiskan secuil demi secuil sol sepatuku. Sampai padam. Denyut denyut pada bengkak akan reda. Terang datang merontokkan jarak kedua mata.

Kantong jaketmu masih berdenting, berdering, nyaring. Kau tak lagi dengar, atau tak ingin dengar. Kupu kupu terpeleset, sayapnya lengket, madunya sungguh kental. Madunya keemasan, matamu terpejam. Kuteriakkan kata kata pinjaman salah satu tiang yang lampunya belum padam. Kabelnya putus dipatuki burung burung. Sembarang burung senang menyimpan cahaya di sarangnya. 

Loncatan kupu kupu semakin tinggi, sayapnya tak lagi berguna. Pohon keramat menganugerahkan penghargaan setiap kali kupu kupu berhasil bangkit dari genangan madu, gemerincing di kantong jaketmu. Langit juga keemasan, bersisik tebal. Kudengar kau berdecak keras, menghela nafas lalu tertawa panjang. Tawa menjadi bagian dari memar yang memudar oleh suara suara dari kantong jaketmu. Kuberi nama sayap kupu kupu beku*

Minggu, 06 November 2011

prejudice

Ia terus menggedor pintu lemari baju. Tangannya mengepal diayunkan sekuat tenaga memukuli lemari baju. Tak sehelai bajupun membukakan pintu.
Baju baju sialan, pura pura tak mendengar ketukannya, punggung tangannya telah memar dan mulai terluka. Baru sekarang ia terpaksa menyadari semua baju dalam lemarinya bebal serta tak tahu membalas jasa, tak sudi menghibur dan melindunginya pada saat ia sangat butuh menutupi tubuhnya.
Mestinya baju bajunya ingat nasib meraka sebelum dibelinya. Tergantung berderet deret, menyedihkan dan mengiba di toko busana, distro dan mall. Baju baju telah melupakan bagaimana dulu ia rela membayar mahal supaya baju bajunya tak merasa sia sia, disebut tidak menarik hati, tidak sesuai selera pasar dan mode terkini, keadaan yang paling tanpa harapan adalah ketika sehelai baju dikatakan tak laku laku oleh siapa saja yang mengingat berapa lama baju dipajang di balik dinding kaca, di bawah guyuran cahaya.
Ia pernah dengan iklhas membayar mahal untuk setiap helai baju di dalam lemarinya. Membawa baju baju pulang ke rumahnya, menaruh mereka dengan senang dan bangga di lemari bajunya. Sebuah tempat terhormat yang bersih, rapi dan berbau wangi di mana semua baju terbagus seharusnya tinggal.
Sungguh baju baju tak tahu diri. Pada saat ia butuh teman dan hiburan, tak sehelaipun baju sudi peduli padanya. Baju baju cuma mendekam diam di dalam lemari bajunya.
Ia masih menggedor lemari bajunya kuat kuat sambil menggigil kedinginan, ia sama sekali tak mengerti betapa inginnya baju baju di dalam lemarinya membuka pintu.dan menghambur mendekapnya*

Kamis, 03 November 2011

menjadi

Puisimu menjelma tangan dan kaki. Menghampiriku yang diam menunggu. Kaumendekat. Kausibakkan rambutku. Kauusap keningku.
Kaujadikan kaki dan tanganku puisi. Menuliskanmu pada segenap ruas tulang. Bersinar jernih, menderas merah. Menerangi udara.
Kau dan aku membentuk serambi dan bilik pada sekepal jantung.Segumpal mendenyutkan tubuh. Mengalirkan degup demi degup di rongga waktu. Seia sekata.
Meneduhkan segala yang menyilaukan mata. Menggenangkan telaga, merangkum senja. Membiaskan sembarang warna. Menjadi puisi. Mengalir di seluruh pelosok jiwa penyair yang jatuh cinta*

lalu lalang


Nyanyian apa semerdu suaramu.
Nada siapa sehangat sentuhanmu.
Siapa aku, yang butuh mendengar lagumu.
Apa kau, yang kasat mata membutuhkan tanya.

Tidak apa, mengada ada tak dilarang bagi siapa siapa*